KITAB SIFAT SHALAT NABI Al Fatihah Bagian 3


     ╔══❖•ೋ°📖° ೋ•❖══╗
                                  
       Grup Islam Sunnah | GiS
           
     ╚══❖•ೋ°👥° ೋ•❖══╝

🌏 https://grupislamsunnah.com/ 

👤  Oleh: Ustadz Dr. Musyaffa Ad Dariny M.A. حفظه الله تعالى 

📚    *Kitab Shifatu Sholatin Nabiyyi Shallallahu 'alaihi Wa Sallam Minattakbiri ilattaslim Ka-annaka Taroha (Sifat Shalat Nabi Mulai dari Takbir sampai Salamnya seakan-akan Anda Melihatnya) karya Asy Syekh Al-Albani -Rahimahullah.* 

Pembahasan Membaca Al Fatihah ~ Membaca Amiin dan Imam Mengeraskannya 



══════════════════   

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله، وعلى آله وصحبه ومن تبع هداه 

Kaum muslimin dan kaum muslimat yang saya cintai karena Allah, khususnya anggota GiS -Grup Islam Sunnah- yang semoga dirahmati dan diberkahi oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. 

Pada kesempatan yang berbahagia ini kita akan bersama-sama mengkaji sebuah kitab yang sangat bagus yang ditulis oleh Asy Syaikh Al Albani rahimahullah, yakni kitab Sifat Shalat Nabi atau sebagaimana judul aslinya Shifatu Shalatin Nabiyyi Shallallahu 'alaihi wa Sallam Minattakbiri ilattaslim Ka-annaka Taraha (Sifat Shalat Nabi Mulai dari Takbir sampai Salamnya Seakan-akan Anda Melihatnya).


Pada kajian kita kali ini akan membahas : 

  -    التَّأمِينُ وَجَهْرُ الإمامِ بِهِ   - 

"Masalah membaca Aamiin dan ketika membaca Aamiin, maka imam mengeraskannya" 

Jadi imam mengeraskan ketika membaca Aamiin. Ini sunnah, dan banyak ditunjukkan oleh hadits-hadits Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wasallam. 

Syaikh Albani رحمه الله تعالى mengatakan: 

ثم ❲ كان صلى الله عليه و سلم إذا انتهى من قراءة الفاتحة قال: [ آمين ]  ❳ 

"Kemudian Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dahulu ketika Beliau selesai membaca Al-Fatihah, maka Beliau mengatakan 'Aamiin'."
❲ يَجْهَر ❳ 
"Beliau mengeraskan Aamiin-nya" 

❲ و يمد بها صوته ❳ 

"Dan beliau memanjangkan suaranya" 

-> maksudnya memanjangkan bacaan Aamiin-nya: "Aamiiiinn..." 

Dan ini Beliau sebagai seorang imam. Kadang-kadang imam tidak mengeraskan bacaan Aamiin-nya. Ini kurang afdhal. Yang lebih afdhal adalah imam mengeraskan bacaan Aamiin-nya dan memanjangkan bacaan tersebut. 

وكان يأمر المقتدين بالتأمين بُعَيْدَ تأمين الإمام 

"Dan dahulu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan kepada makmum untuk membaca Aamiin juga, setelah bacaan Aamiin-nya imam" 

Tapi setelahnya, setelah yang sedikit. Jadi tidak setelah selesai Aamiin-nya imam, tidak. Tapi lebih, bisa dikatakan membarengi imam tapi tidak bareng secara utuh. 

Di sini [ بُعَيدَ تأمين الإمام ] ; setelahnya tapi bukan setelah yang utuh, bukan imam membaca 'Aamiin' - selesai, kemudian makmum 'Aamiin', tidak. Tapi berbarengannya: makmum masih dibelakangnya imam. Membacanya makmum setelah membacanya imam ta'min 'Aamiin', tapi tidak setelah selesainya. Jadi Aamiin-nya tetap berbarengan, tapi makmum bacaan Aamiin-nya tetap setelah selesai imam. 

فيقول: ❲ إذا قال الإمام : ❳ 

"Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan: apabila Imam membaca:" 
{ غَيۡرِ الۡمَغۡضُوۡبِ عَلَيۡهِمۡ وَلَا الضَّآلِّيۡنَ } 

❲ فقولوا : آمين ❳ 

"Maka katakanlah wahai makmum: 'Aamiin'" 
[ فإن الملائكة تقول : آمين ] 

"Karena para malaikat itu membaca Aamiin juga" 
(ketika seorang imam selesai membaca Al-Fatihah-nya) 

[ وإن الإمام يقول : آمين ] 

"Dan Imam juga membaca Aamiin" 

( وفي لفظ: )
"Dalam redaksi yang lain:"
( إذا أمَّن الإمام فأمِّنوا )
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menyampaikan: "Apabila imam membaca 'Aamiin', maka aminkanlah" 

Apabila imam membaca Aamiin, maka bacalah Aamiin juga. 



❲ فمن وافق تأمينه تأمين الملائكة، غفر له ما تقدم من ذنبه ❳ 

"Apabila ada orang yang bacaan Aamiin-nya berbarengan dengan bacaan Aamiin-nya malaikat, keutamaannya: dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni" 

Sering kali orang ketika mendengar keutamaan seperti ini, sering kali menyepelekan. Padahal ini keutamaan yang besar. Kalau ditanya dosa-dosa yang telah lalu ini berapa? Banyak sekali. Karena di situ tidak ada batasan hari, tidak ada batasan tahun. Dosa-dosa manusia yang telah lalu, ini dosa yang banyak. Coba kalau umurnya 30 tahun, dosa-dosa yang telah lalu ketika dia umur 30 tahun, berapa dosanya? Banyak. Coba kalau umurnya 60 tahun, dikatakan dosa-dosanya yang telah lalu diampuni oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, berapa itu? Banyak sekali. Dan ini keutamaan yang besar. Apabila Aamiin kita berbarengan dengan Aamiin-nya malaikat, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mengampuni dosa-dosa kita yang telah lalu. 

Dalam sebuah redaksi yang lain, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam menyabdakan: 

❲ إذا قال أحدكم في الصلاة : آمين ❳ 

"Apabila salah seorang dari kalian membaca di dalam shalatnya: Aamiin" 

❲ والملائكة في السماء : آمين ❳ 

"Dan malaikat yang ada di langit juga mengatakan: Aamiin" 

❲ فوافق أحدهما الآخر ❳ 

"Dan Aamin-nya salah satu dari keduanya berbarengan dengan Aamiin salah satu dari keduanya yang lain" 

❲ غفر له ما تقدم من ذنبه ❳ 

"Maka dosa-dosanya yang telah lalu akan diampuni" 
(ini maknanya sama dengan yang tadi) 

Intinya, kalau Aamin-nya kita berbarengan dengan Aamiin-nya malaikat setelah imam selesai membaca Al-Fatihah, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mengampuni dosa-dosa kita yang telah lalu. 

______ 

Demikianlah yang bisa kita kaji pada kesempatan kali ini. Semoga  menjadi ilmu yang bermanfaat dan diberkahi oleh Allah Jalla wa 'Alaa. 

InsyaaAllah kita akan lanjutkan pada kesempatan yang akan datang. 

والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته 

══════ ∴ |GiS| ∴ ══════  

🌏 https://grupislamsunnah.com 

🗓  KAMIS
         30 Shafar 1443 H
         07 Oktober 2021 M

👤  Oleh: Ustadz Dr. Musyaffa Ad Dariny M.A. حفظه الله تعالى 

📚    *Kitab Shifatu Sholatin Nabiyyi Shallallahu 'alaihi Wa Sallam Minattakbiri ilattaslim Ka-annaka Taroha (Sifat Shalat Nabi Mulai dari Takbir sampai Salamnya seakan-akan Anda Melihatnya) karya Asy Syekh Al-Albani -Rahimahullah.* 

💽   Audio ke-59: Pembahasan Membaca Al-Fatihah ~ Membaca Aamiin dan Imam Mengeraskannya Bag 02 



══════════════════  

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله، وعلى آله وصحبه ومن تبع هداه 

Kaum muslimin dan kaum muslimat yang saya cintai karena Allah, khususnya anggota GiS -Grup Islam Sunnah- yang semoga dirahmati dan diberkahi oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. 

Pada kesempatan yang berbahagia ini kita akan bersama-sama mengkaji sebuah kitab yang sangat bagus yang ditulis oleh Asy Syaikh Al Albani rahimahullah, yakni kitab Sifat Shalat Nabi atau sebagaimana judul aslinya Shifatu Shalatin Nabiyyi Shallallahu 'alaihi wa Sallam Minattakbiri ilattaslim Ka-annaka Taraha (Sifat Shalat Nabi Mulai dari Takbir sampai Salamnya Seakan-akan Anda Melihatnya).


Pada kajian kali ini kita akan membahas: 

  -    التَّأمِينُ وَجَهْرُ الإمامِ بِهِ   - 

"Masalah membaca Aamiin dan ketika membaca Aamiin, maka imam mengeraskannya" 

وفي حديث آخر    
Di dalam hadits yang lain, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menyabdakan:
❲ فقولوا : آمين ❳ 

Maksudnya ketika seorang imam selesai membaca Al-Fatihah, "maka bacalah: Aamiin"
❲ يجبكم الله ❳ 

"Maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mengijabahi doa kalian" 

"Aamiin" dalam bahasa Arab artinya "Ya Allah, ijabahilah permintaanku, doaku" 

[ اللهم استجب لي ] 

Inilah Aamiin dalam bahasa Arab. Makanya ketika kita membaca "Aamiin" atau mengatakan "Aamiin", itu sebenarnya kita sedang berdoa.
Dan doanya, doa yang kita maksud adalah doa yang dibaca oleh imam ketika membaca: 

{ اِھْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَـقِيْمَ } 

"Tunjukilah kami jalan yang lurus" 

{ صِرَاطَ الَّذِيۡنَ اَنۡعَمۡتَ عَلَيۡهِمۡ } 

"Yaitu jalan orang yang Engkau berikan kenikmatan" (yakni kaum muslimin) 

Yang Engkau berikan kenikmatan yaitu kaum muslimin, yang mereka mentaati Allah dan rasul-Nya; orang-orang salih, orang-orang syuhada', orang-orang siddiqin (yang benar-benar mengikuti Allah dan rasul-Nya). Sebagaimana disebutkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam ayat yang lain: 

{ أُو۟لَـٰٓئِكَ ٱلَّذِينَ أَنْعَمَ ٱلله عَلَيْهِم مِّنَ ٱلنَّبِيِّـۧي وَٱلصِّدِّيقِينَ وَٱلشُّهَدَآءِ وَٱلصَّـٰلِحِينَ ۚ } 

"Merekalah orang-orang yang diberikan nikmat oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, mereka yaitu para nabi, para siddiqin, para syuhada', dan orang-orang yang saleh." 

{ صِرَاطَ الَّذِيۡنَ اَنۡعَمۡتَ عَلَيۡهِمۡ } 

"Yaitu jalannya orang-orang yang Engkau berikan kenikmatan" 

Jalannya para nabi, jalannya para siddiqin, jalannya para syuhada', jalannya orang-orang yang saleh. 

{ غَيۡرِ الۡمَغۡضُوۡبِ عَلَيۡهِمۡ } 

"Bukan jalannya orang yang Engkau murkai (yaitu orang-orang Yahudi)" 

{ وَلَا الضَّآلِّيۡنَ } 

"Dan bukan pula jalannya orang-orang yang sesat"
-> Ditafsirkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam (yaitu) orang-orang Nasrani. 

Kenapa orang Yahudi dimurkai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala? Karena mereka tahu, tapi tidak mengamalkan. Mereka tahu bahwa agama Islam ini agama yang benar. Bahkan di dalam surat Al-Baqarah, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengatakan, menyebutkan sifat mereka. 

{ ٱلَّذِينَ يَعْرِفُونَهُۥ كَمَا يَعْرِفُونَ أَبْنَآءَهُمْ ۖ} 

"Mereka itu tahu Alkitab sebagaimana mereka tahu anak-anak mereka" 

Sebagaimana mereka tahu anak-anak mereka, ilmunya tinggi. Bagaimana pengetahuan kita terhadap anak kita? Kita tahu seluk-beluk anak kita, sedetil-detilnya. Orang Yahudi juga demikian. Mereka tahu Alkitab sebagaimana mereka tahu anak-anaknya, tapi mereka tidak mau mengamalkan ilmunya. Ini orang yang dimurkai oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. 

Sebaliknya, orang-orang Nasrani itu sesat, karena mereka tidak tahu ilmu tapi banyak mengamalkan. Kebalikan, ilmunya tidak ada tapi amalannya banyak sehingga amalan-amalan tersebut salah. Banyak yang salah karena tidak didasari oleh ilmu, makanya jadinya sesat. 

Oleh karenanya, jangan sampai kita sebagai kaum muslimin yang berdoa setiap hari seperti ini, kemudian kita mengikuti jalan-jalan mereka. 
Kalau kita punya ilmu, maka amalkan ilmu tersebut. Kalau belum ada ilmunya, jangan mengamalkan. Kalau punya ilmu, amalkan ilmu tersebut semampunya, sekuat tenaga. Kalau tidak punya ilmu, maka jangan mengamalkan. Karena amalan yang tanpa dasar ilmu bisa jadi sia-sia (yang pertama); bisa jadi mendatangkan dosa (yang kedua). Oleh karenanya, Islam adalah agama yang benar-benar harus didasari oleh bukti ilmiah. 

Islam melarang khurafat. Keyakinan-keyakinan yang tanpa dasar dilarang oleh Islam. 

Dalam masalah dunia pun demikian. Kita tidak boleh meyakini sesuatu yang tidak berdasarkan bukti ilmiah. Apalagi dalam masalah agama. Kalau kita melakukan sesuatu ibadah, maka harus ada dasarnya. Inilah Islam. Sangat menjunjung tinggi bukti ilmiah. Makanya firman Allah Subhanahu wa Ta’ala yang pertama kali turun tentang bacaan. 

{ اِقۡرَاۡ بِاسۡمِ رَبِّكَ الَّذِىۡ خَلَقَ‌ۚ } 

"Bacalah dengan nama Rabb-mu yang telah menciptakan" 

Membaca ini pintu untuk mendapatkan ilmu. Inilah kemuliaan Islam. Ketika kita melakukan sesuatu, baik dalam masalah dunia maupun dalam masalah agama maka dasarilah dengan ilmu. 

و في حديث آخر : 

"Dalam hadits yang lain, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam mengatakan:" 

❲ فقولوا : آمين يجبكم الله ❳ 

"Maka bacalah Aamiin, Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mengijabahi permintaan kalian" 

______ 

Demikianlah yang bisa kita kaji pada kesempatan kali ini. Semoga  menjadi ilmu yang bermanfaat dan diberkahi oleh Allah Jalla wa 'Alaa. 

InsyaaAllah kita akan lanjutkan pada kesempatan yang akan datang. 

والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته 

══════ ∴ |GiS| ∴ ══════  


🌏 https://grupislamsunnah.com 


👤  Oleh: Ustadz Dr. Musyaffa Ad Dariny M.A. حفظه الله تعالى 

📚    *Kitab Shifatu Sholatin Nabiyyi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam Minattakbiri ilattaslim Ka-annaka Taroha (Sifat Shalat Nabi Mulai dari Takbir sampai Salamnya seakan-akan Anda Melihatnya) karya Asy Syekh Al-Albani -Rahimahullah.* 

Pembahasan Membaca Al Fatihah ~ Membaca Aamiin dan Imam Mengeraskannya Bag 03 


══════════════════   

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله، وعلى آله وصحبه ومن تبع هداه 

Kaum muslimin dan kaum muslimat yang saya cintai karena Allah, khususnya anggota GiS -Grup Islam Sunnah- yang semoga dirahmati dan diberkahi oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. 

Pada kesempatan yang berbahagia ini kita akan bersama-sama mengkaji sebuah kitab yang sangat bagus yang ditulis oleh Asy Syaikh Al Albani rahimahullah, yakni kitab Sifat Shalat Nabi atau sebagaimana judul aslinya Shifatu Shalatin Nabiyyi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam Minattakbiri ilattaslim Ka-annaka Taraha (Sifat Shalat Nabi Mulai dari Takbir sampai Salamnya Seakan-akan Anda Melihatnya). 


Pada kajian kali ini kita akan membahas: 

  -    التَّأمِينُ وَجَهْرُ الإمامِ بِهِ   - 

"Masalah membaca Aamiin dan ketika membaca Aamiin, maka imam mengeraskannya" 

و كان يقول :
"Dan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam juga mengatakan" 

❲ ما حسدتكم اليهود على شيء ما حسدتكم على السلام و التأمين [ خلف الإمام ] ❳ 

"Orang-orang Yahudi tidak hasad kepada kalian sebagaimana hasadnya mereka kepada kalian dalam salam dan bacaan 'Aamiin' di belakang imam" 

Ketika kita bertemu dengan orang lain, apa yang kita ucapkan? 
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ    

Ini doa kebaikan. 
"Semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberikan keselamatan kepadamu, Allah memberikan rahmat kepadamu, Allah memberikan keberkahan kepadamu."

Ini menjadikan orang Yahudi iri kepada kita, karena dalam ajaran mereka tidak ada seperti ini. Salamnya orang Yahudi lambaian tangan saja. Tapi salamnya kita: 
السَّلاَمُ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ
Makanya orang Yahudi iri dengan kita, karena ini adalah sesuatu yang sangat mulia. 

Kalau kita sebarkan salam ini, betapa banyaknya kebaikan yang tersebar, karena setiap orang mendoakan orang lain. Kemudian yang didoakan membalas dengan doa yang sama. Bahkan dianjurkan lebih baik dari itu. 

{ وَإِذَا حُیِّیتُم بِتَحِیَّةࣲ فَحَیُّوا۟ بِأَحۡسَنَ مِنۡهَاۤ أَوۡ رُدُّوهَاۤۗ } 

"Apabila kalian diberikan salam, maka balaslah dengan salam yang lebih baik atau paling tidak, sama" 

Ketika ada orang yang mengatakan "Assalamu’alaikum", maka Allah memerintahkan untuk membalasnya dengan yang lebih baik:  "wa’alaikumussalam warahmatullah" atau ditambahi "wabarakatuhu". Ini yang lebih baik. Atau paling tidak membalasnya dengan salam yang sama, "wa’alaikumussalam". 

Kalau orangnya mengatakan "Assalamu’alaikum warahmatullah", maka kita membalasnya "wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh". Ini yang paling afdal, atau membalasnya dengan yang sama: "wa’alaikumussalam warahmatullah". Jangan sampai kurang dari itu. Jangan sampai "wa’alaikumussalam" saja. Walaupun tidak haram, tidak, tapi jangan sampai demikian, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala menganjurkan kepada kita untuk ya paling tidak sama, jangan sampai kurang dari itu. 

Bagaimana Ustadz, kalau salamnya sudah lengkap, "Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuhu". Apakah kita membalasnya dengan tambahan, kemudian kita mengatakan, "Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuhu wani'matuhu wafadhluhu", apakah demikian? Tidak. Kita berhenti pada apa yang diajarkan oleh nabi kita Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam. Kalau ingin menambahi silahkan, tapi doanya terpisah. Dipisahkan dengan salam. Jangan ditambah-tambahi dengan sesuatu tambahan yang bersambung dengan salamnya. 

Misalnya kalau ada orang bersalam dengan kita dengan salam yang lengkap, kita jawab salam tersebut sampai "wabarakatuhu", kemudian setelah itu kita langsung yang memulai pembicaraan. Itu juga bisa kita lakukan, dan itu baik. Sehingga kita melakukan sesuatu yang lebih baik dari apa yang dia lakukan. 

Thoyyib, ini yang pertama yang orang-orang Yahudi iri kepada kita sebagai kaum muslimin. 

Sesuatu yang kedua, yang orang Yahudi iri kepada kita adalah membaca "Aamiin" dalam shalat. 

Jadi kaum muslimin ketika shalat, itu mereka benar-benar khusyuk, mereka benar-benar bermunajat kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan ketika itu imam memintakan untuk dirinya dan makmumnya hidayah. Kemudian makmumnya dan imamnya mengatakan "Aamiin". Ini sesuatu yang menjadikan orang-orang Yahudi iri. 

Belum lagi keutamaannya yang sangat besar. Kalau Aamiin-nya kita berbarengan dengan Aamiin-nya malaikat, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mengampuni dosa-dosa kita yang telah lalu. 

Ada sesuatu yang sangat menarik dari perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taymiyyah رحمه الله ketika beliau membicarakan tentang masalah doa. Jadi seorang pemimpin doa, kalau ada orang yang berdoa dan diaminkan oleh orang lain, seperti misalnya khotib, kalau misalnya berdoa dia dan diaminkan oleh jamaah; atau misalnya ada sebuah acara yang seseorang diminta untuk berdoa diaminkan oleh jamaahnya; atau misalnya ketika shalat istisqa' ada doa seorang imam yang diaminkan oleh para jamaahnya; ini makruh hukumnya kalau seorang imam mengkhususkan dirinya di dalam doa tersebut agar diamini oleh para jamaah. 

Kita senang tidak, didoakan oleh orang banyak? Senang. Tapi kalau misalnya caranya seperti itu, ini makruh. Disebutkan oleh para ulama, ini makruh. Bahkan ada hadits yang menjelaskan khusus masalah ini. Tapi sayangnya haditsnya lemah. 

Para ulama mereka telah menjelaskan bahwa ini makruh, hukumnya makruh. Misalnya kalau ada seorang imam dia berdoa diaminkan oleh jamaahnya. Dia berdoanya "Ya Allah, sembuhkanlah anakku yang sedang sakit", kemudian imam mengatakan "Aamiin". Dia memanfaatkan kesempatan, karena dia seorang imam dan akan diamini oleh banyak orang, akhirnya dia ingin mendoakan untuk dirinya sendiri. Misalnya "Ya Allah, saya ini sedang sakit, sembuhkanlah aku" kemudian makmum: "Aamiin". Ini makruh, mengkhususkan diri dalam doanya padahal dia sedang berdoa bersama banyak orang. 

Syaikhul Islam ibnu Taymiyyah mengatakan, makanya di dalam Al-Fatihah itu dhomirnya dhomir jamak [ اهدنا ] (tunjukillah kami), agar imam terhindar dari kemakruhan ini. 
Kata-katanya tidak [ اِھْدِنِي الصِّرَاطَ الْمُسْتَـقِيْمَ ], "tunjukillah aku". Tidak. Tapi kata-katanya "Tunjukilah kami jalan yang lurus". Sehingga ketika imam membaca Al-Fatihah, kemudian makmum membaca "Aamiin", imam tidak terjatuh ke dalam sesuatu yang dibenci. Makanya dhomirnya atau kata gantinya adalah kata ganti jamak. Ini cara berdalil yang sangat menarik. 

Kenapa Allah Subhanahu wa Ta’ala mengganti dhomir di situ dengan dhomir atau dengan kata ganti yang umum? Karena Fatihah ini dibaca ketika shalat, dan dibaca oleh imam dan nantinya diaminkan oleh makmum. Maka sangat pas ketika dhomir tersebut kata gantinya menggunakan kata ganti yang jamak. 

______ 

Demikianlah yang bisa kita kaji pada kesempatan kali ini. Semoga  menjadi ilmu yang bermanfaat dan diberkahi oleh Allah Jalla wa 'Alaa. 

InsyaaAllah kita akan lanjutkan pada kesempatan yang akan datang. 

والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته 

══════ ∴ |GiS| ∴ ══════  

🌏 https://grupislamsunnah.com/ 


👤  Oleh: Ustadz Dr. Musyaffa Ad Dariny M.A. حفظه الله تعالى 

📚    *Kitab Shifatu Sholatin Nabiyyi Shallallahu 'alaihi Wa Sallam Minattakbiri ilattaslim Ka-annaka Taroha (Sifat Shalat Nabi Mulai dari Takbir sampai Salamnya seakan-akan Anda Melihatnya) karya Asy Syekh Al-Albani -Rahimahullah.* 

💽   Audio ke-66: Pembahasan Bolehnya hanya Membaca Surat Al Fatihah saja dalam Satu Rakaat 



══════════════════    

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله، وعلى آله وصحبه ومن تبع هداه 

Kaum muslimin dan kaum muslimat yang saya cintai karena Allah, khususnya anggota GiS -Grup Islam Sunnah- yang semoga dirahmati dan diberkahi oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. 

Pada kesempatan yang berbahagia ini kita akan bersama-sama mengkaji sebuah kitab yang sangat bagus yang ditulis oleh Asy Syaikh Al Albani rahimahullah, yakni kitab Sifat Shalat Nabi atau sebagaimana judul aslinya Shifatu Shalatin Nabiyyi Shallallahu 'alaihi wa Sallam Minattakbiri ilattaslim Ka-annaka Taraha (Sifat Shalat Nabi Mulai dari Takbir sampai Salamnya Seakan-akan Anda Melihatnya).


Pada kajian kali ini kita akan membahas bolehnya membaca surat Al-Fatihah saja dalam satu rakaat. 

Misalnya di rakaat pertama dan di rakaat kedua kita hanya membaca surat Al-Fatihah saja, maka ini dibolehkan. Sebagaimana dahulu salah seorang sahabat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dan Beliau tidak mengingkarinya. Ini menunjukkan bahwa hal itu dibolehkan. Ini termasuk sunnah taqriiriyyah. 

Sunnah taqriiriyyah adalah sunnah-sunnah yang berupa persetujuan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam terhadap perbuatan yang dilakukan oleh sebagian sahabat Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Beliau tahu hal itu dan beliau tidak mengingkarinya. Beliau menyetujuinya. Beliau mengiyakannya. Inilah sunnah taqriiriyyah. 

Ada kisah yang menarik dalam masalah ini. Syaikh Albani rahimahullahu Ta’ala untuk mendatangkan dalil, beliau mendatangkan kisah ini. Kisah Mu’adz ibn Jabal. Mungkin banyak yang belum tahu tentang kisah Mu’adz ini. Dan di sini banyak faidah yang bisa kita ambil dari riwayat Mu’adz ini atau kisahnya Mu’adz. 

Disebutkan di sini, Mu’adz radhiyallahu ‘anhu biasa shalat Isya al-akhiirah, maksudnya shalat Isya yang diakhirkan secara berjamaah bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Mu’adz biasa shalat Isya secara berjamaah bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Isya biasa dikatakan atau disebut al-akhiirah karena shalat Maghrib kadang-kadang disebut sebagai shalat Isya dalam bahasa Arab. Dalam bahasa Arab, shalat Maghrib juga kadang-kadang disebut shalat Isya. Makanya ada istilah Al-‘Isyaa-aan, dua shalat Isya. Shalat Isya yang pertama: Maghrib. Shalat Isya yang kedua, yang terakhir: shalat Isya itu sendiri. 

Mu’adz biasa shalat Isya al-akhiirah secara berjamaah bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Lalu dia pulang ke desanya untuk mengimami sahabat-sahabatnya shalat Isya. Bayangkan ya.. Mu’adz ini shalat bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam kemudian pulang. Kemudian pulang ke kampungnya, ke desanya, mengimami sahabat-sahabatnya yang ada di desa tersebut. 
Shalatnya Mu’adz ini berapa kali berarti? 2 kali. Shalat yang pertama, shalat wajib. Shalat Isya yang kedua apakah wajib lagi? Tidak. Jadinya shalat sunnah berarti. Sedangkan para sahabatnya shalat apa? Shalat wajib. 

Ini menunjukkan bahwa kita ketika shalat wajib boleh bermakmum dengan orang yang shalat sunnah. Dan ini pendapat yang lebih kuat. Ada yang mengatakan tidak boleh sebagaimana pendapatnya madzhab Hanafiy. Namun karena adanya hadits ini maka pendapat jumhur lebih kuat. Mayoritas ulama mengatakan demikian. Bahwa kita boleh shalat wajib dan bermakmum dengan orang yang shalat sunnah. 

Apabila orang yang shalat wajib boleh bermakmum dengan orang yang shalat sunnah, apalagi orang yang shalat wajib bermakmum dengan orang lain yang shalat wajib walaupun beda. Walaupun beda shalatnya. Misalnya ada orang yang menjamak shalat Dhuhur dan shalat Ashar. Sudah selesai shalat Dhuhur, baru datang orang kepingin menjamak juga. Dia boleh menjadikan orang yang tadinya sudah shalat Dhuhur dan sekarang akan shalat Ashar untuk menjadi imamnya sebagai apa? Orang yang shalat Dhuhur. Niatnya beda, yang satunya shalat Ashar, yang satunya shalat Dhuhur. Ini dibolehkan karena dia bermakmum dengan orang yang shalat wajib walaupun niatnya beda. 

Bermakmum dengan orang yang shalat sunnah saja dibolehkan, apalagi bermakmum dengan orang yang shalat wajib. Dan ini menunjukkan betapa semangatnya sahabat Mu’adz radhiyallahu ‘anhu dalam beribadah. 

Shalatnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam lumayan panjang, shalat Isya-nya. Kemudian harus pulang ke desanya. Ini membutuhkan waktu, membutuhkan usaha, membutuhkan perjuangan. Sampai di desanya, masih shalat lagi bersama orang-orang yang ada di desanya. Dan itu dilakukan. Itu kebiasaannya. Dilakukan dengan biasa, kebiasaan beliau seperti itu. Ini menunjukkan betapa semangatnya Mu’adz ibn Jabal radhiyallahu ‘anhu dalam beribadah. 

Pada suatu malam, ketika pulang, ia shalat mengimami mereka. Saat itu ada seorang anak muda berasal dari Bani Salimah bernama Sulaim. Ketika merasa shalat yang dilakukan Mu’adz terlalu lama, anak muda itupun menghentikan shalat jama’ahnya. Bayangkan, Mu’adz ini shalat, tadinya shalat bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, dan kebiasaan Rasulullah, shalatnya tidak seperti shalat kita yang sebentar-sebentar. Kemudian pulang ke kampungnya. Menjadi imam. Masih ingin shalat dengan shalat yang panjang, sampai ada orang yang tidak tahan dengan shalatnya Mu’adz karena panjangnya. Akhirnya "mufaaraqah", memisahkan diri shalat di sudut masjid. 

Ketika merasa shalat yang dilakukan Mu’adz terlalu lama, anak muda itupun menghentikan shalat jama’ahnya bersama Mu’adz dan mengerjakan shalat secara mandiri, secara sendiri di sudut masjid. Sesudah itu dia keluar, lalu mengambil tali kekang untanya dan bergegas pergi. Orang ini tergesa-gesa, shalat dengan cepat dan setelah itu pergi. 

Ketika Mu’adz selesai shalat, diceritakanlah kepadanya tentang hal itu, tentang keadaan orang ini yang berpisah dari jama’ahnya. Maka Mu’adz berkata, “Sungguh anak muda itu memiliki sifat munafik.” 
Mu’adz langsung mengatakan demikian. “Aku pasti akan menyampaikan apa yang dia lakukan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam.” Mu’adz ingin melaporkan orang ini kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. 

Anak muda itu juga berkata ketika sampai kabar tentang perkataan Mu’adz ini kepada anak muda itu. Anak muda itu mengatakan, “Begitupun denganku. Aku juga akan menceritakan kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam apa yang Mu’adz lakukan.” Dua-duanya melapor kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. 

Keesokan harinya keduanya menemui Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Mu’adz menceritakan perbuatan anak muda itu. Sedangkan anak muda itu berkata, “Wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Setelah lama berada di sisimu, setelah lama dia berada di sisimu (maksudnya Mu’adz), dia pulang lalu mengimami kami shalat dengan bacaan ayat yang panjang.” 
Ini semangatnya Mu’adz radhiyallahu ‘anhu. Shalat panjang bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Kemudian pulang ke desanya, shalat panjang lagi. 

Maka Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam mengatakan kepada Mu’adz, 

❲ أَفَتَّانٌ أنْتَ يا مُعاذ? ❳

Wahai Mu’adz, "a fattaanun anta yaa Muadz". 
"Wahai Mu’adz, apakah engkau menjadi seseorang yang mengganggu, mengganggu jama’ahmu atau mengganggu orang lain, sehingga orang lain tersebut tidak suka dengan Islam?” 
Ini maksud dari kata-kata “a fattaanun anta, yaa Mu’aadz?” (Apakah engkau suka membuat fitnah, wahai Mu’adz?). Fitnah di sini adalah gangguan yang menjadikan seseorang tidak suka dengan Islam. 

Dimarahi Mu’adz oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Padahal sebabnya apa? Shalat yang panjang. Sebabnya ibadah. Oleh karenanya, jangan sampai kita berpikir kalau kita berbuat baik, itu sudah cukup. Dalam berbuat baik kita juga harus memperhatikan maslahat dan mafsadah yang timbul setelah itu. 

Kalau misalnya perbuatan baik kita menimbulkan mafsadah yang lebih besar dan bisa dikurangi mafsadah tersebut dengan tidak melakukan sesuatu yang diharamkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, maka kurangi. Kurangi perbuatan baik itu yang dengannya tidak ada fitnah; yang dengannya fitnah tidak akan terjadi. 

Misalnya ada di sebuah masjid, misalnya. Masyarakat tidak suka dengan da’i tertentu, dengan ustadz tertentu. Masyarakat tidak suka dengan ustadz itu karena mungkin terlalu keras. Maka merupakan maslahat untuk tidak mengundang ustadz tersebut, karena kita bisa mengundang ustadz yang lain yang sama-sama menyampaikan sunnah, tapi dengan metode lain yang lebih baik, lebih digemari oleh masyarakat, tidak menimbulkan fitnah. Ini pelajaran yang berharga bagi kita. 

Seperti misalnya lagi, membaca Al-Qur’an itu ibadah. Bahkan membaca membaca Al-Qur’an adalah dzikir yang paling afdal. Dzikir yang paling afdal adalah membaca Al-Qur’an. Tapi ketika membaca Al-Qur’an, di samping kita ada orang yang shalat, kita tidak boleh membaca Al-Qur’an dengan suara yang keras. Kenapa? Karena bacaan Al-Qur’an tersebut akan mengganggu kekhusyukan orang yang shalat itu. Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam melarang hal ini. 

Kalau membaca Al-Qur’an saja dilarang apabila mengganggu orang yang shalat, apalagi membaca selain Al-Qur’an. Dan ini banyak terjadi di masjid-masjid. Kaum muslimin setelah adzan banyak membaca dzikir-dzikir dengan speaker dan keras. Kasihan orang yang shalat sunnah qabliyyah. Mereka terganggu. 

Membaca Al-Qur’an saja tidak diperbolehkan, apalagi membaca yang lain apabila itu mengganggu orang yang shalat. Dan ini tidak hanya mengganggu orang yang shalat, orang yang bekerja pun bisa terganggu dengan hal itu. Bahkan akhirnya ada orang-orang yang non-muslim akhirnya protes dengan suara yang bising. 

Coba kalau hanya adzan saja sebagaimana dahulu dipraktikkan oleh nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Tentunya hal tersebut akan menghilangkan fitnah-fitnah seperti ini atau gangguan-gangguan yang seperti ini. 

______ 

Demikianlah yang bisa kita kaji pada kesempatan kali ini. Semoga menjadi ilmu yang bermanfaat dan diberkahi oleh Allah Jalla wa 'Ala. 

InsyaaAllah kita akan lanjutkan pada kesempatan yang akan datang. 

والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته


══════ ∴ |GiS| ∴ ══════   


🌏 https://grupislamsunnah.com/

👤 Oleh: Ustadz Dr. Musyaffa Ad Dariny M.A. حفظه الله تعالى

📚 *Kitab Shifatu Sholatin Nabiyyi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam Minattakbiri ilattaslim ka-annaka Taroha (Sifat Shalat Nabi mulai dari Takbir sampai Salamnya seakan-akan Anda Melihatnya) karya Asy Syekh Al-Albani -Rahimahullah.*

💽 Audio ke-67: Pembahasan Bolehnya Hanya Membaca Surat Al Fatihah saja dalam Satu Rakaat Bag 02



══════════════════    

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله، وعلى آله وصحبه ومن تبع هداه 

Kaum muslimin dan kaum muslimat yang saya cintai karena Allah, khususnya anggota GiS -Grup Islam Sunnah- yang semoga dirahmati dan diberkahi oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. 

Pada kesempatan yang berbahagia ini kita akan bersama-sama mengkaji sebuah kitab yang sangat bagus yang ditulis oleh Asy Syaikh Al Albani rahimahullah, yakni kitab Sifat Shalat Nabi atau sebagaimana judul aslinya Shifatu Shalatin Nabiyyi Shallallahu 'alaihi wa Sallam Minattakbiri ilattaslim Ka-annaka Taraha (Sifat Shalat Nabi Mulai dari Takbir sampai Salamnya Seakan-akan Anda Melihatnya).


Pada kajian kali ini kita akan membahas bolehnya membaca surat Al-Fatihah saja dalam satu rakaat. 

Misalnya di rakaat pertama dan di rakaat kedua kita hanya membaca surat Al-Fatihah saja. Maka ini dibolehkan. Syaikh Albani rahimahullah Ta’ala untuk mendatangkan dalil, beliau mendatangkan kisah Mu’adz ibn Jabal. 

Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Sallam mengatakan,  
❲ أَفَتَّانٌ أنْتَ يا مُعاذ? ❳
“Wahai Mu’adz apakah engkau senang membuat fitnah atau membuat sesuatu yang bisa menjadi pengganggu bagi kaum muslimin dan akhirnya mereka tidak suka dengan syariat Islam.” 

Dan beliau bertanya kepada anak muda itu, “Kamu sendiri apa yang kamu lakukan jika shalat, wahai ibnu akhii (wahai anak saudaraku)”. 

Ibnu akhii [ إبن أخي ] di sini adalah untuk panggilan kesayangan, untuk melembutkan panggilan. Orang Arab demikian. Ibnu akhii, anak saudaraku. Padahal ayahnya orang ini bukan saudaranya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dari kekerabatannya, bukan. Tapi anak saudaranya mungkin saudara se-Islam, se-aqidah, se-iman. 

“Kamu sendiri, apa yang kamu lakukan jika shalat, wahai putra saudaraku.” 

Ini menunjukkan akhlak Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dalam memanggil sahabat-sahabatnya. Ini juga menunjukkan bagaimana usaha nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam melembutkan hatinya para sahabatnya. 

Pemuda itu menjawab (ini yang diinginkan oleh Syaikh Albani rahimahullah Ta’ala ketika mendatangkan kisah ini), “Aku membaca Al-Fatihah, lalu memohon surga kepada Allah dan memohon perlindungan kepada-Nya dari neraka.” 

Ini menunjukkan bahwa orang ini membaca Al-Fatihah saja, tidak membaca surat-surat yang lainnya. Karena orang ini mengatakan, “Aku membaca Al-Fatihah lalu aku memohon surga kepada Allah dan memohon perlindungan kepada-Nya dari neraka.” Berdoa setelah itu, orang ini. Dan ini menunjukkan bolehnya berdoa ketika berdiri. Karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tidak mengingkari apa yang dilakukan oleh orang ini. 

Setelah membaca Al-Fatihah kita berdoa, tidak masalah. Karena memang hal tersebut dibolehkan oleh nabi kita Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Ada sahabatnya yang melakukan demikian, Beliau tidak melarangnya. Beliau tidak mengingkarinya. Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam adalah orang yang ma’shuum, tidak mungkin Beliau membiarkan kemungkaran di depan Beliau. Kalau itu salah, tentunya akan Rasulullah ingatkan. Ternyata Beliau tidak ingkari hal itu. Berarti itu menunjukan bahwa hal itu dibolehkan. 

Kemudian di sini disebutkan, “Dan aku tidak tahu dandanah” 

Dandanah dalam bahasa Arab itu adalah suara yang lirih. Kita mendengar suaranya tapi kita tidak paham apa yang dikatakannya. Suaranya kita dengar, tapi apa isi dari suara tersebut kita tidak tahu. Orang yang di sampingnya, dia bisa mendengar dan bisa paham dia. 
Bisa dikatakan, “Aku tidak tahu suara lirih anda dan juga suara lirihnya Mu’adz.” 
(وإني لا أدري ما دندنتك ودندنة معاذ) <- 

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda, “Aku dan Mu’adz juga ...” 
-> Di sini, bergumam seputar kedua hal itu atau serupa dengan itu. 

❲   إني ومعاذ حول هاتَينِ ، أونَحْوذا ❳ 

Maksudnya adalah, “Aku dan Mu’adz juga bersuara lirih dengan permintaan dua hal itu." Dengan permintaan tentang dua hal itu:  meminta dimasukkan ke surga dan meminta diselamatkan dari neraka. 
Maksud Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam adalah bahwa, “Aku dan Mu’adz juga demikian." Maksudnya meminta kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk dimasukkan ke dalam surga dan diselamatkan dari neraka. Atau serupa dengan itu. 

Perawi berkata, maka anak muda itupun berkata, “Akan tetapi nanti pasti Mu’adz akan tahu apabila kaum itu telah datang.” Maksudnya orang-orang kafir;  apabila orang kafir datang untuk perang, memerangi kaum muslimin. Dan mereka telah diberitahu bahwa musuh telah datang. Ini orang-orang kafir datang. “Dan Mu’adz akan tahu bagaimana kejujuranku dalam Islam.” Karena orang ini dituduh Mu’adz apa? Munafik. Orang ini menantang Mu’adz. “Mua’dz akan tahu bagaimana kejujuranku dalam Islam. Nanti lihat bagaimana ketika aku bertemu dengan musuh.” Maksudnya demikian. 

Perawi hadits berkata, kemudian datanglah musuh kaum kuffar (orang-orang kafir). Dan anak muda itupun mati syahid. Anak muda itupun mati syahid. 

Lalu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bertanya kepada Mu’adz, “Apa yang telah diperbuat oleh anak muda, lawan bicaraku dan lawan bicaramu ketika itu?" 

Mu’adz menjawab, “Wahai Rasululah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, 
[ صَدَقَ الله وَكَذَبئْتُ،] 

Artinya secara bahasa Arab “Shadaqallaaha": Orang ini benar-benar telah jujur dengan Allah Subhanahu wa Ta’ala. Orang ini bukan orang munafik, maksudnya. Dia tulus dalam Islamnya. Makanya ketika ada musuh menyerang kaum muslimin, orang ini berada di depan. Dan sampai dia mati.
Mu’adz mengatakan, [ صَدَقَ الله ].
"Orang ini benar-benar tulus kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala." 
[ وَكَذَبئْتُ ]
"sedangkan aku salah" 

Kadzaba dalam bahasa Arab bisa diterjemahkan/bisa bermakna “salah” tidak selalu “berdusta”, tidak. Tapi bisa bermakna “salah”. 

“Aku yang salah, wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam ketika menuduh dia orang munafik. Dia yang benar, dia tidak munafik. Aku yang salah.” Ini pengakuan Mu’adz ibn Jabal radhiyallahu ‘anhu. 

أُسْتُشهِدَ 
Orang ini mati syahid. 

Ini kisah yang sangat banyak kalau diambil faidahnya. Kisah ini mengandung faidah yang sangat banyak bagi kita sebagai kaum muslimin yang mengetahui kisah ini. Kadang seorang yang mulia pun salah dalam menilai orang lain. Mu’adz ibn Jabal, siapa yang ragu dengan keislaman beliau. Siapa yang ragu dengan kewalian beliau. Beliau wali Allah. Beliau orang yang disayangi oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala, kekasih Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jelas. Tapi lihat bagaimana ketika beliau menilai orang ini sebagai munafik. Ternyata beliau salah. Ternyata penilaian beliau tidak tepat. 

Oleh karenanya, semulia apapun, sesaleh apapun orang, dia bisa salah dalam menilai orang lain. Apalagi kalau dipengaruhi oleh keadaan, situasi, yang menjadikan orang tersebut tidak netral dalam menilai orang lain. 

Oleh karenanya, ketika ada, misalnya kita melihat ada teman kita yang saleh menilai orang lain tidak baik, jangan langsung percaya begitu saja. Misalnya ada ulama menilai orang lain tidak baik, jangan percaya begitu saja. Kita harus kedepankan husnudzon, dan kita harus cek; cek dan ricek. Cek terus apakah memang benar seperti itu? Kalau iya banyak bukti, ya.. baru kita percaya. Kalau tidak ada buktinya walaupun yang mengatakan adalah orang yang saleh, maka jangan sampai dipercaya. Jangan diterima begitu saja. Kita harus punya bukti dalam menilai orang lain. 

Begitu pula di antara ulama. Kadang satu ulama menilai ulama lain tidak baik. Baik itu ustadz ataupun kyai ataupun mahaguru ataupun nama-nama yang lainnya. Kadang-kadang ada situasi yang menjadikan mereka tidak netral, sehingga menilai orang lain tidak baik karena situasinya. Bisa jadi dia salah. 

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam di sini menyalahkan Mu’adz. Ternyata penilaian Mu’adz salah dan kemurkaan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam itulah yang benar. Rasulullah mengatakan, “a fattaanun anta, yaa Mu’aadz?” “Apakah engkau senang membuat fitnah, membuat kegaduhan, membuat sesuatu yang menjadikan kaum muslimin tidak suka dengan syariat ini, wahai Mu’adz?” Ternyata benar. Orang ini orang yang jujur. Orang yang tulus dalam agamanya. 

_______ 

Demikianlah yang bisa kita kaji pada kesempatan kali ini. Semoga menjadi ilmu yang bermanfaat dan diberkahi oleh Allah Jalla wa 'Ala. 

InsyaaAllah kita akan lanjutkan pada kesempatan yang akan datang. 

والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته


══════ ∴ |GiS| ∴ ══════   



Postingan populer dari blog ini

Al Fatihah 1

BIMBINGAN SINGKAT AMALAN HAJI

BEKAL ISLAM