KITAB SIFAT SHALAT NABI Shalat Memakai Sandal




🌏 https://grupislamsunnah.com

👤  Oleh: Ustadz Dr. Musyaffa Ad Dariny M.A. حفظه الله تعالى 

📚    *Kitab Shifatu Sholatin Nabiyyi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam Minattakbiri ilattaslim ka-annaka taroha (Sifat Shalat Nabi mulai dari takbir sampai salamnya seakan-akan Anda melihatnya) karya Asy Syekh Al-Albani -Rahimahullah.* 

Pembahasan Sholat Menggunakan Sandal dan Perintah Untuk Melakukannya




════════════════    

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله، وعلى آله وصحبه ومن تبع هداه

Kaum muslimin dan muslimat yang saya cintai karena Allah, khususnya anggota GiS atau Grup Islam Sunnah yang semoga dirahmati dan diberkahi oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. 

Pada kesempatan yang berbahagia ini kita akan bersama-sama mengkaji sebuah kitab yang sangat bagus yang ditulis oleh Asy Syaikh Al Albani rahimahullah, yakni kitab Sifat Shalat Nabi atau sebagaimana judul aslinya Shifatu Shalatin Nabiyyi Shallallahu 'Alaihi sa Sallam Minattakbiri ilattaslim Ka-annaka Taraha (Sifat Shalat Nabi Mulai dari takbir sampai Salamnya Seakan-akan Anda Melihatnya).

Baiklah kita lanjutkan kajian kita.

Syaikh Al Albani Rahimahullah mengatakan:

الصلاة في النعال والأمر بها
(Ash shalaatu fin ni’aali wal amru bihaa)

Masalah yang selanjutnya adalah shalat dengan memakai sandal dan perintah untuk melakukannya.

Shalat dengan memakai sandal ini sunnah. Tapi bukan di masjid yang di dalam masjid seperti ini. Jangan sampai setelah kajian ini pada pakai sandal ke masjid. Karena memang masjidnya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu tidak seperti masjid kita sekarang ini. 

Di zaman dahulu alasnya tanah langsung. Dan dahulu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa memerintahkan para sahabatnya untuk shalat dengan mememakai alas kaki. Makanya kita praktikkan hal ini misalnya ketika Shalat ‘Id. Ketika Shalat ‘Id, tidak ada sajadah misalnya, kita shalat di atas tanah dalam keadaan memakai sandal. Ini sunnah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. 

Makanya jangan kaget. Jangan sampai mencela orang yang demikian. Misalnya ada tentara yang shalat dengan memakai sepatunya. Tidak masalah. Tidak masalah sama sekali bahkan itu merupakan sunnah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

وكان يقف حافيا أحيانا ومنتعلا أحيانا
(Wa kaana yaqifu haafiyan ahyaanan wa munta’ilan ahyaanan)

Terkadang Beliau berdiri tanpa sandal dan terkadang berdiri dengan memakai sandal.

وأباح ذلك لأمته فقال
(wa abaaha dzaalika li ummatihi, fa qaala)

memperbolehkan hal tersebut untuk umatnya dengan bersabda:

إذا صلى أحدكم فليلبس نعليه أو ليخلعهما بين رجليه ولا يؤذي بهما غيره
(“idzaa shallaa ahadukum fal yalbas na’laihi au liyakhla’humaa baina rijlaihi wa laa yu`dzi bihimaa ghairahu.")

“Jika salah seorang diantara kalian shalat maka hendaklah ia memakai sepasang sandalnya.”

"Hendaklah ia memakai sepasang sandalnya," perintah. 

“Atau melepasnya diantara kedua kakinya.”

Ini orang zaman dulu. Bayangkan orang di zaman dahulu tidak ada rak sandal. Sandal dibawa sampai ke dalam masjid karena memang alas masjid tersebut adalah tanah. 

Diletakkannya dimana? 

Di antara dua kaki. 

“Atau melepasnya di antara kedua kakinya. 

"Dan janganlah ia mengganggu orang lain dengan keduanya.”

Karena kalau diletakkan di pinggirnya sandal tersebut akan mengganggu orang yang disampingnya. 

Atau misalnya diletakkan di belakangnya, akan mengganggu orang yang dibelakang. Kecuali kalau jaraknya agak jauh. Kalau jaraknya agak jauh tidak mengapa. Tapi kalau jaraknya dekat itu akan mengganggu orang yang dibelakang kita. 

Maka kita meletakkannya diantara kedua kaki kita.
Kalau ada yang bertanya, “Ustadz, sandal tersebut dari hammam atau dari toilet. Dan ada kemungkinan najisnya.” Kita katakan selama kita belum yakin akan najisnya maka hukum asalanya suci. Kecuali kalau kita benar-benar yakin bahwa sandal tersebut memang najis terciprat air kencing dan kita tahu tercipratnya, kita lihat. Atau kemungkinan sangat besar sekali terkena cipratan kencing. Maka disini kita hukumi bahwa sandal kita najis. Sehingga kita tidak menggunakannya untuk shalat, atau kita cuci. Kalau sudah dicuci maka hukumnya menjadi suci kembali. 

Atau misalnya kita melewati tanah. Kita melewati tanah dan kita tahu bahwa tanah tersebut bisa mensucikan najisnya maka itu sudah cukup. Karena sucinya najis tidak harus dengan air tapi bisa dengan bisa dengan sesuatu yang lainnya. Misalnya tanah, misalnya debu, misalnya tisu, yang penting dzat najisnya hilang.

وأكد عليهم الصلاة فيهما أحيانا فقال : خالف اليهود فإنهم لا يصلون في نعالهم ولا خفافهم

(Wa akkada ‘alaihimus shalaah fiihima ahyaanan fa qaala, “Khaaliful yahuud. Fa innahum laa yushalluuna fii ni’aalihim wa laa khifaafihim.”)

Terkadang Beliau memberi penekanan dalam perintahnya untuk shalat dengan memakai sepasang sandal. Dan Beliau mengatakan, “Selisihilah orang-oang Yahudi. Sebab mereka tidak shalat dengan memakai sandal-sandal mereka. Dan mereka juga tidak shalat dengan memakai khuf-khuf mereka.”

Tahu khuf? Ada yang tahu khuf? Sepatu? 

Tidak, ada yang lain. Seperti kaus kaki tapi terbuat dari kulit. Ini masih banyak, masih banyak dipakai oleh orang-orang Arab. 

Ketika cuacanya sangat dingin orang Arab memakai khuf ini untuk menahan dingin tersebut. 

Seperti di Madinah ketika dingin, dingin sekali. Memakai kaus kaki kadang kurang karena masih ada udara yang menerobos kedalam. Sehingga mereka biasanya memakai khuf ini. 

Khuf adalah semacam selop, semacam kaus kaki, tapi terbuatnya dari kulit sehingga bisa benar-benar menghalangi dingin untuk masuk ke ke kaki. Dan ini masih banyak ditemukan di Madinah atau di Mekkah. 

Kalau keadaannya panas jarang kita menemukannya karena kalau panas, panas sekali. Tapi kalau keadaan cuacanya pas dingin sekali kita akan banyak melihat hal tersebut dipakai oleh orang-orang. 

Orang-orang Yahudi dahulu tidak mau, ketika shalat, mereka shalat dengan sandalnya atau dengan khufnya. Sehingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin menyelisihi mereka. 

Ini adalah sunnah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sehingga sebaiknya kadang-kadang kita lakukan kalau pas keadaannya, keadannya di luar kita shalat. Misalnya di, kita sedang rekreasi. Kita shalat di padang, di tempat yang luas kita shalat bisa dengan melakukan hal ini. Sunnah ini bisa kita, kita lakukan. 

Adapun shalat dengan khuf bisa di dalam masjid karena khuf biasanya bersih.

“Ustadz, ini seperti tidak menghormati syariat shalat.” 

Kurang menghormati syariat shalat kalau orang tidak tahu. Tapi kalau orang sudah tahu dia akan mengatakan ini sunnah Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. 

Makanya ilmu dalam agama ini sangat penting. Dalam beribadah kita sangat membutuhkan ilmu yang sesuai dengan tuntunan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. 

Kita beribadah bukan hanya logika yang kita pakai. Memang logika itu digunakan untuk memahami nash-nash. 

Tapi misalnya ada nash yang kurang sesuai dengan logika kita, jangan kita menangkan logikanya. Tapi menangkan nash-nya. Pahami dengan akal kita. 

Kalau misalnya akal kita merasa tidak cocok jangan tolak nash-nya tapi tundukkan akal tersebut agar bisa menerima nash dengan baik. Walaupun menurut orang lain ini kurang menghormati syariat shalat, kita katakan itu karena kebodohan dia. Karena kejahilan dia, belum mengetahui tuntunan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. 

Kalau sudah mengetahui tuntunan maka harusnya dia mendahulukan tuntunannya. Bukan malah menuduh orang-orang yang demikian tidak menghormati syariat shalat.
Karena kalau itu tidak menghormati syariat shalat harusnya tidak dilakukan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Harusnya tidak ditekankan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau memberikan penekanan dalam perintahnya dan kadang-kadang Beliau lakukan. Sehingga ini bukan tidak menghormati syariat shalat tapi ini masih dalam tuntunan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Demikianlah yang bisa kita kaji pada kesempatan kali ini semoga menjadi ilmu yang bermanfaat dan diberkahi oleh Allah Jalla wa 'Ala. 

InsyaaAllah kita akan lanjutkan pada kesempatan yang akan datang.

والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته


══════ ∴ |GiS| ∴ ══════  

🌏 https://grupislamsunnah.com

👤  Oleh: Ustadz Dr. Musyaffa Ad Dariny M.A. حفظه الله تعالى 

📚    *Kitab Shifatu Sholatin Nabiyyi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam Minattakbiri ilattaslim ka-annaka taroha (Sifat Shalat Nabi mulai dari takbir sampai salamnya seakan-akan Anda melihatnya) karya Asy Syekh Al-Albani -Rahimahullah.* 

Pembahasan Sholat Menggunakan Sandal dan Perintah Untuk Melakukannya Bag 02




════════════════ 

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله، وعلى آله وصحبه ومن تبع هداه

Kaum muslimin dan muslimat yang saya cintai karena Allah, khususnya anggota GiS atau Grup Islam Sunnah yang semoga dirahmati dan diberkahi oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. 

Pada kesempatan yang berbahagia ini kita akan bersama-sama mengkaji sebuah kitab yang sangat bagus yang ditulis oleh Asy Syaikh Al Albani rahimahullah, yakni kitab Sifat Shalat Nabi atau sebagaimana judul aslinya Shifatu Shalatin Nabiyyi Shallallahu 'Alaihi wa Sallam Minattakbiri ilattaslim Ka-annaka Taraha (Sifat Shalat Nabi Mulai dari takbir sampai Salamnya Seakan-akan Anda Melihatnya).

Baiklah kita lanjutkan kajian kita.

Syaikh Al Albani Rahimahullah mengatakan:

وكان ربما نزعهما من قدميه وهو في الصلاة ثم استمر في صلاته
(Wa kaana rubbamaa naza’ahumaa min qadamaihi wa huwa fis shalaah tsummastamarra fii shalaatihi)

Terkadang Beliau melepas sepasang sandal Beliau dari kedua kaki Beliau saat sedang shalat. Kemudian terus melanjutkan shalatnya.

كما قال أبو سعيد الخذري
(kamaa qaala Abu Sa’iid Al Khudriy)

Sebagaimana dikatakan oleh shahabat Abu Sa’iid Al Khudriy

Pernah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melepaskan sandalnya ketika Beliau sedang shalat. Yaitu ketika Beliau mengetahui ada kotoran najis di kakinya, atau di sandalnya. Sehingga Beliau melepaskannya. 

Ini juga yang harusnya kita lakukan kalau kita mengetahui ada kotoran najis di sandal kita ketika kita sedang shalat. Kalau kita tahu hal tersebut maka kita lepaskan sandalnya dan kita tetap meneruskan shalatnya. 

“Ustadz, di awal shalat berarti shalat dalam keadaan ada najis. Apakah shalatnya sah?” 

Kita katakan tetap sah. Karena apa? 

Karena tidak tahu kalau ada najis. Dalilnya perbuatan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. 

Kalau kita tidak tahu ketika shalat dan ada najis di tubuh kita, kita tahunya setelah kita shalat, maka kita katakan shalat kita sah. Kenapa demikian? 

Karena kita tidak tahu dan itu udzur. 

Kalau kita sudah tahu dari awal tapi kita tetap shalat dengan sesuatu yang najis tersebut maka shalat kita batal. Dalilnya adalah hadits ini yang akan kita baca.

“Ustadz, bagaimana kalau kita tidak tahu, lupa, belum wudhu. Kalau tadi masalah najis. Kalau lupa belum wudhu bagaimana, ustadz? Dan shalat kita belum selesai, ternyata kita baru ingat kalau kita belum wudhu.” 

Kita katakan, shalatnya tidak sah karena wudhu adalah syarat sahnya shalat dan kita belum melakukannya. Dan tidak ada dalil yang menjelaskan masalah itu. Sehingga hukum asalnya orang yang shalat tidak memenuhi syarat sahnya maka shalatnya batal, tidak sah sama sekali. 

Kadang ada orang junub tapi dia lupa. Akhirnya wudhu saja. Wudhu saja karena mungkin junubnya sudah lama. Bangun dari tidurnya dia hanya wudhu saja kemudian berangkat shalat. Setelah shalat dia baru ingat ternyata junub, belum mandi. 

Kita katakan shalatnya harus, harus diulang. Karena dia shalat dalam keadaan belum memenuhi syarat sah shalat. Dan tidak ada dalil yang membolehkan hal tersebut. 

Berbeda dengan masalah najis. Ada dalil yang membolehkan ketika kita tidak tahu. Hadisnya ini:

صلى بنا رسول الله صلى الله عليه وسلم ذات يوم
(Shallaa binaa Rasulullahi shallallahu ‘alaihi wa sallam dzaata yaumin)

Suatu hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat mengimami kami

فلما كان في بعض صلاته خلع نعليه فوضعهما على يساره 
(Fa lammaa kaana fii ba’di shalaatihi, khala’a na’laihi fa wadha’a humaa ‘alaa yasaarihi)

Ketika di tengah shalat, Beliau melepas kedua sandal Beliau lalu meletakkannya disebelah kiri Beliau

فلما رأى الناس ذلك خلعوا نعالهم
(Fa lammaa raan naasu dzaalik, khala’uu ni’aalihim)

Ketika orang-orang atau makmumnya melihat apa yang dilakukan oleh Beliau tersebut, merekapun melepas sandal-sandal mereka.

Lihat bagaimana para shahabat, mengikuti apa yang dilakukan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sampai ketika di dalam shalat, Rasulullah melepaskan sandalnya, para shahabat langsung melepaskan semuanya. Inilah semangat mereka dalam mengikuti tuntunan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. 

Begitu selesai shalat:

فلما قضى صلاته قال : ما بالكم ألقيتم نعالكم 
(Fa lammaa qadhaa shalaatahu qaala, “Maa baalukum alqaitum ni’aalakum?”)

Begitu selesai shalat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepada mereka, “Kenapa kalian melepaskan sandal-sandal kalian?”

قالوا : رأيناك ألقيت نعليك فألقينا نعالنا
(Qaaluu, “Raainaaka alqaita na’laika fa alqainaa ni’aalanaa.")

Para shahabat menjawab, “Kami lihat engkau melepas sepasang sandal engkau maka kami pun ikut melepas sandal-sandal kami."
فقال
(Fa qaala,)

Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan:
 
إن جبريل آتاني فأخبرني أن فيها قذرا، أو قال : أذى، و في رواية : خبثا
(Inna Jibriil aataanii fa akhbaranii anna fiihaa qadzaran au qaala adzan wa fii riwaayatin khabatsan)

Sesungguhnya Jibril tadi datang kepadaku seraya mengabarkan bahwa di sandalku itu ada kotoran atau sesuatu yang menggangu atau sesuatu yang menjijikkan (maksudnya adalah najis). Makanya aku melepaskannya.

Ini menunjukkan bahwa asalnya Rasulullah tidak tahu. Dan ada najis di sandal beliau berarti ada sebagian shalat Beliau, yang dilakukan oleh Beliau dalam keadaan beliau ada najisnya. Tapi karena tidak tahu hal tersebut menjadi tidak masalah. Karena buktinya apa? 

Buktinya Beliau tetap meneruskannya dan menganggap shalat, sebagian shalat tersebut tetap sah.

Ini menunjukkan kalau kita shalat dalam keadaan ada najis di tubuh kita dan kita tidak tahu, maka shalat kita tetap sah.

“Ustadz, bagaimana kalau keadaannya setelah shalat kita baru tahu ada najis? Misalnya kita lihat ada darah dan darahnya lumayan banyak. Kemudian kita menunda waktu untuk mengganti pakaian kita. Karena kita tunda akhirnya lupa. Lupa di shalat berikutnya kita masih pakai pakaian itu. Kemudian ingatnya setelah shalat lagi." 

"Bagaimana hukum shalat yang kedua ini?"

"Bagaimana hukumnya, tetap sah ataukah tidak sah?” 

Kita katakan tetap sah karena dia lupa dan dia merasa shalat dalam keadaan suci. Dia tidak ingat. 

Ini uzur juga. Dan seperti itulah manusia banyak lupa sehingga itu bisa menjadi uzur.

فألقيتما، فإذا جاء أحدكم إلى المسجد فلينظر في نعليه
فإن رأى فيها قذرا، أو قال : أذى، وفي الرواية الأخرى خبثا فاليمسحهما وليصلي فيهما
(Fa alqaitum. Fa idzaa jaaa ahadukum ilaa masjid fal yandzur fii na’laihi. Fa in raaa fihaa qadzaran au qaala adzan wa fir riwayatil ukhra khabatsan falyamsah humaa wal yushallii fiihimaa.)

Maka apabila salah seorang dari kalian pergi ke masjid, maka lihatlah dua sandalnya.

Lihatlah sandalnya. 
Ini di zaman dulu memang pelataran atau lantai masjid tidak seperti sekarang, masih lantai yang berlantaikan tanah. Sehingga biasa orang masuk masjid dalam keadaan memakai sandal. Jangan diterapkan di zaman ini, di masjid-masjid yang sudah suci. Masjid-masjid yang sudah bersih. Kalau sampai sandal masuk masjid maka akan sangat kotor dan akan sangat memberatkan orang yang membersihkan masjid. 

Makanya dalam memahami hadis kita harus memahami bagaimana keadaan di zaman hadits tersebut diucapkan. Di zaman hadits tersebut datang. Kita harus tahu keadaan itu. Jangan sampai kita menerapkan dengan keadaan yang berbeda. Kalau keadaannya sudah berbeda maka lain prakteknya sesuai dengan maslahat yang yang ada.

Apabila di dalam sandal tersebut atau di sisi sandal tersebut atau di luarnya ada kotoran.

Ada sesuatu yang menjijikkan. Sesuatu yang mengganggu, intinya najis.

Maka hendaknya, maka harusnya dia mengusapnya (menghilangkannya maksudnya.) Apabila sudah hilang shalatlah dengan memakainya.

Inilah yang diinginkan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila kita shalat, misalnya kita shalat ‘Id di luar. Maka lihat sandalnya dahulu. Diperiksa apakah ada kotorannya ataukah tidak. 

Kotoran yang dimaksud disini adalah kotoran yang najis. Kalau hanya kotoran tanah, tanah liat misalnya, maka ini bukan kotoran yang menggangu sahnya shalat. Selama kotorannya kotoran yang tidak mengganggu sahnya shalat maka tetap digunakan. 

Terapkan sunnah ini. Dan tidak selamanya seperti itu. Boleh dilakukan boleh juga tidak. Karena Rasulullah juga demikian. Kadang melepaskan sandalnya kadang menggunakannya.

Demikianlah yang bisa kita kaji pada kesempatan kali ini semoga menjadi ilmu yang bermanfaat dan diberkahi oleh Allah Jalla wa 'Ala. 

InsyaaAllah kita akan lanjutkan pada kesempatan yang akan datang.

والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته


══════ ∴ |GiS| ∴ ══════  



🌏 https://grupislamsunnah.com

👤  Oleh: Ustadz Dr. Musyaffa Ad Dariny M.A. حفظه الله تعالى 

📚    *Kitab Shifatu Sholatin Nabiyyi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam Minattakbiri ilattaslim ka-annaka taroha (Sifat Shalat Nabi mulai dari takbir sampai salamnya seakan-akan Anda melihatnya) karya Asy Syekh Al-Albani -Rahimahullah.* 

Pembahasan Sholat Menggunakan Sandal dan Perintah Untuk Melakukannya Bag 03




════════════════

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله، وعلى آله وصحبه ومن تبع هداه

Kaum muslimin dan muslimat yang saya cintai karena Allah, khususnya anggota GiS atau Grup Islam Sunnah yang semoga dirahmati dan diberkahi oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. 

Pada kesempatan yang berbahagia ini kita akan bersama-sama mengkaji sebuah kitab yang sangat bagus yang ditulis oleh Asy Syaikh Al Albani rahimahullah, yakni kitab Sifat Shalat Nabi atau sebagaimana judul aslinya Shifatu Shalatin Nabiyyi Shallallahu 'Alaihi sa Sallam Minattakbiri ilattaslim Ka-annaka Taraha (Sifat Shalat Nabi Mulai dari takbir sampai Salamnya Seakan-akan Anda Melihatnya).

Baiklah kita lanjutkan kajian kita.

Syaikh Al Albani Rahimahullah mengatakan:

وكان إذا نزعهما، وضعهما عن يساره
(Wa kaana idzaa naza’ahumaa wadha’a humaa ‘an yasaarihi)

Dan ketika Rasullallah shallallahu ‘alaihi wa sallam melepas kedua sandalnya, Beliau meletakkannya di samping kirinya.
Ini karena apa?

Karena Beliau imam. Karena Beliau seorang imam sehingga diletakkan di sebelah kiri tidak masalah. 

Kalau sebagai makmum meletakkannya dimana? 

Di antara dua kaki.

وإذا صلى أحدكم فلا يضع نعليه عن يمينه ولا عن يساره فتكون عن يمينه غيره
إلا أن لا يكون عن يساره أحد وليضعهما بين رجليه 
(Idzaa shallaa ahadukum fa laa yadha’ na‘laihi ‘an yamiinihi wa laa ‘an yasaarihi fa takuunu ‘an yamiinihi ghairihi illaa an laa yakuuna ‘an yasaarihi ahad wal yadha’ huma baina rijlaihi)

Apabila salah seorang dari kalian shalat maka janganlah ia meletakkan sepasang sandalnya di sebelah kanan maupun di sebelah kirinya. Karena itu akan menjadi di sebelah kanan orang lain. Kecuali, jika di sebelah kirinya tidak ada siapapun. Dan hendaklah ia meletakkan keduanya di antara kedua kakinya.

Inilah yang dianjurkan dalam masalah meletakkan sandal ketika kita tidak ingin shalat dengan dua sandal kita. 

Di mana kita meletakkannya? 

Kita meletakkannya di antara dua kaki kita. 

Kalau misalnya kita bisa meletakkan di sebelah kiri karena kita, misalnya, di paling kiri imam, tidak ada orang sama sekali, maka boleh. Tapi untuk meletakkan di bagian kanan tidak boleh. Kecuali kalau misalnya berada di paling kanan imam dan tidak ada orang lain maka tidak masalah karena tidak mengganggu orang lain. 

Tapi kalau di tengah, di samping kanan kirinya ada orang maka meletakkannya di antara kedua kakinya tersebut.

Demikian yang bisa kita bahas dalam kesempatan kali ini. Mudah-mudahan bermanfaat. Mudah-mudahan diberkahi oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan bisa kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari. 

والله تعالى أعلم
وصلى الله وبارك على النبي محمد وعلى آله وصحبه ومن تبعهم بأحسان إلى يوم الدين
والحمد لله رب العالمين

Wallahu Ta’ala a’lam.

Wa shallallahu wa baaraka ‘alan nabiyya Muhammadin wa ‘ala aalihi wa shahbihi wa man tabi’ahum bi ihsaanin ilaa yaumid diin.

Walhamdulillahi rabbil ‘aalamin.

══════ ∴ |GiS| ∴ ══════  


🌏 https://grupislamsunnah.com

👤  Oleh: Ustadz Dr. Musyaffa Ad Dariny M.A. حفظه الله تعالى 

📚    *Kitab Shifatu Sholatin Nabiyyi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam Minattakbiri ilattaslim ka-annaka taroha (Sifat Shalat Nabi mulai dari takbir sampai salamnya seakan-akan Anda melihatnya) karya Asy Syekh Al-Albani -Rahimahullah.* 

Pembahasan Sholat Di Atas Mimbar



════════════════

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله، وعلى آله وصحبه ومن تبع هداه

Kaum muslimin dan muslimat yang saya cintai karena Allah, khususnya anggota GiS atau Grup Islam Sunnah yang semoga dirahmati dan diberkahi oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. 

Pada kesempatan yang berbahagia ini kita akan bersama-sama mengkaji sebuah kitab yang sangat bagus yang ditulis oleh Asy Syaikh Al Albani rahimahullah, yakni kitab Sifat Shalat Nabi atau sebagaimana judul aslinya Shifatu Shalatin Nabiyyi Shallallahu 'Alaihi sa Sallam Minattakbiri ilattaslim Ka-annaka Taraha (Sifat Shalat Nabi Mulai dari takbir sampai Salamnya Seakan-akan Anda Melihatnya).

Pada kesempatan kali ini kita akan membahas tentang shalat di atas mimbar.

Shalat di atas mimbar ini pernah dilakukan oleh Nabi Muhammad shalallahu alaihi wa salam dan ini dibolehkan. Terutama untuk tujuan memberikan pengajaran kepada kaum muslimin sebagaimana hal tersebut dilakukan oleh Nabi Muhammad shalallahu alaihi wa salam.

Disebutkan oleh Syaikh Albani Rahimahullah:

وصلى صلى الله عليه وسلم مرة على المنبر

Dan Rasulullah shalallahu alaihi wa salam pernah sekali waktu shalat di atas mimbar.

Jadi, Rasulullah naik ke atas mimbar kemudian shalat.

وفي رواية أنه ذو ثلاث درجات

Dan di dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa mimbar tersebut memiliki tiga anak tangga.

Ini menunjukkan bahwa mimbarnya Rasulullah shalallahu alaihi wa salam dahulu memiliki tiga anak tangga.
Apakah tiga anak tangga ini sunnah ataukah Rasulullah shalallahu alaihi wa salam atau para shahabatnya membuat tangga tersebut memang karena seperti itulah kebutuhannya waktu itu?

Ada yang mengatakan itulah yang disunnahkan, tiga anak tangga itu.

Ada yang mengatakan hal tersebut bukan dimaksudkan oleh Nabi Muhammad shalallahu alaihi wa salam, hanya saja kebutuhannya pada waktu itu memang seperti itu. 

Namun, keluar dari permasalahan ini, apabila seseorang yang membuat mimbar tujuannya meniru mimbarnya Rasulullah shalallahu alaihi wa salam maka orang yang demikian mendapatkan pahala, karena semangatnya meniru yang Rasulullah shalallahu alaihi wa salam lakukan. 

Jadi, tidak ada keharusan mimbar harus sama dengan mimbarnya Rasulullah shalallahu alaihi wa salam. Karena memang keadaan bisa sangat berbeda antara zaman Nabi Muhammad shalallahu alaihi wa salam dengan zaman setelahnya. 

Apalagi di zaman seperti ini, jamaah kaum muslimin jumlahnya sangat besar sekali. Apabila mimbar dibatasi dengan bentuk mimbar di zaman Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam akan sangat memberatkan kaum muslimin. Orang yang di belakang bisa jadi tidak tidak melihat, saking banyaknya jamaah. Sehingga tidak mengapa misalnya di sebuah masjid mimbarnya di tinggikan agar semua jamaah bisa melihat seorang imam atau seorang khatib ketika sedang berkhotbah.

فقام عليه

Maka Rasulullah shalallahu alaihi wa salam berdiri di atasnya (di atas mimbar).

فكبر، وكبر الناس ورآه وهو على المنبر

Kemudian Beliau bertakbir dan para jamaah di belakangnya mengikuti takbir beliau dan ketika itu Beliau posisinya masih di atas mimbar.

ثم ركعا وهو عليه

Kemudian Rasulullah shallallahu alaihi wasallam beruku' dan Beliau posisinya masih di atas mimbar.

ثم رفع

Kemudian Beliau mengangkat kepalanya (dari posisi rukuk menjadi i'tidal).

فنزل قهقرى حتى سجد

Ketika Beliau akan sujud Beliau mundur turun.

Dengan keadaan mundur. Asalnya di atas mimbar, sekarang Beliau turun. Karena sujud di atas mimbar tidak bisa akhirnya beliau mundur.

حتى سجد

Akhirnya Beliau sudutnya di atas tanah.

حتى سجد في الأصل منبر

Sampai Beliau akhirnya sujud di kaki mimbar.

ثم عاد

Kemudian Beliau kembali lagi ke mimbar.

Setelah selesai dari sujud, lalu duduk, kemudian sujud lagi. Kemudian berdiri lagi, kemudian naik ke atas mimbar lagi.

Di sini ada banyak ragam untuk turun dari mimbar dan gerakan untuk naik ke mimbar.

Apakah seperti ini tidak membatalkan shalat ustadz? 

Kita katakan kalau gerakan tersebut karena suatu hal, suatu kebutuhan yang mendesak, maka tidak membatalkan shalatnya dan tidak mengganggu shalat seseorang. Karena memang gerakan tersebut untuk kebutuhan yang mendesak. Seperti, gerakan-gerakan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ini, turun dari mimbar kemudian naik ke mimbar. Ini tujuannya adalah untuk mengajari kaum muslimin, memberikan pengajaran kepada umat. Hal yang seperti ini tidak mempengaruhi shalat seseorang. 

Kalau tidak ada kebutuhan untuk itu, baru ini hendaknya ditinggalkan, kalau memang tidak ada kebutuhan. Kalau ada kebutuhan, sebagaimana yang dilakukan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam maka tidak mengapa dilakukan. 

Jangan sampai membuat kesimpulan bahwa shalat di mimbar itu sunnah, akhirnya setiap shalat melakukannya di atas mimbar. Bukan seperti ini cara menyimpulkan hukum dari sebuah dalil. Melihat Rasulullah shallallahu alaihi wassalam shalat sekali saja, kemudian seperti itu terus agar di dilihat aneh misalnya, cari sensasi. Tidak seperti ini. 

Rasulullah shalallahu alaihi wassalam melakukan ini karena ingin memberikan pengajaran kepada kaum muslimin.

Rasulullah shallallahu alaihi wasallam di rakaat kedua, ketika posisi dalam keadaan berdiri, Beliau naik lagi ke atas mimbar.

فصنع فيها كما صنع ركعة أولى

Kemudian Rasulullah shalallahu alaihi wa salam di rakaat yang kedua ini melakukan gerakan-gerakan sebagaimana yang Beliau lakukan di rakaat pertama.

Jadi, Beliau rukuk di atas mimbar dan i'tidal di atas mimbar. Ketika mau sujud Beliau turun lagi dan sujud di kaki mimbar. Kemudian duduk, sujud, duduk. Begitu sampai akhir shalat Beliau.

حتى فرغ من آخر صلاته

Sampai Beliau menyelesaikan shalatnya.

ثم أقبل على الناس

Kemudian Beliau menghadap kepada para jamaah.

فقال : 《يا أيها الناس

Ini yang menunjukkan bahwa Beliau melakukan hal tersebut karena hal tertentu. Bukan seperti itu seterusnya atau sering beliau lakukan. Tapi ketika itu Beliau membutuhkan untuk melakukan shalat di atas mimbar.

يا أيها الناس إني صنعت هذا لتأتموا بي

Aku melakukan hal ini agar kalian bermakmum kepadaku.

ولتعلموا صلاتي

Dan agar kalian belajar shalat dariku.

Inilah tujuan Nabi Muhammad shalallahu alaihi wa salam ketika itu melakukan hal ini. 

Sehingga, apabila ada seorang guru, seorang ustadz, ingin memberikan pengajaran sebagaimana yang Rasulullah inginkan ketika itu, maka boleh bagi beliau untuk melakukan kan hal ini. Agar murid jelas bagaimana gerakan-gerakan di dalam shalat. Karena makmum bisa melihat semuanya. Kalau antara imam dan makmum sejajar, yang belakang tidak bisa melihat gerakan imam. Berbeda kalau imamnya berada di atas mimbar akan kelihatan walaupum oleh Makmun shaf kedua ataupun shaf seterusnya.

Maka, di dalam awal pembahasan, Syaikh Albani rahimahullah menjelaskan:

وصلى عليه وسلم مرة

Pernah sekali waktu beliau shalat.

على المنبر

Di atas mimbar.

Jadi Ini harus dibatasi dengan sekali waktu. Sekali-kali melakukan hal tersebut karena kebutuhan yang sama dengan kebutuhan Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam.

Demikianlah yang bisa kita kaji pada kesempatan kali ini semoga menjadi ilmu yang bermanfaat dan diberkahi oleh Allah Jalla wa 'Ala. 

InsyaaAllah kita akan lanjutkan pada kesempatan yang akan datang.

والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته

══════ ∴ |GiS| ∴ ══════  


Postingan populer dari blog ini

Al Fatihah 1

BIMBINGAN SINGKAT AMALAN HAJI

BEKAL ISLAM