KITAB SIFAT SHALAT NABI Arah Kiblat

           ╔══❖•ೋ°📖° ೋ•❖══╗
                                  
       Grup Islam Sunnah | GiS
    
           ╚══❖•ೋ°👥° ೋ•❖══╝ 


👤  Oleh: Ustadz Dr. Musyaffa Ad Dariny M.A. حفظه الله تعالى 

📚    *Kitab Shifatu Sholatin Nabiyyi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam Minattakbiri ilattaslim ka-annaka taroha (Sifat Shalat Nabi mulai dari takbir sampai salamnya seakan-akan Anda melihatnya) karya Asy Syekh Al-Albani -Rahimahullah.* 

Menghadap Kiblat 

════════════════

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله، وعلى آله و صحبه و من تبع هداه

Kaum muslimin dan muslimat yang saya cintai karena Allah, khususnya anggota GiS atau Grup Islam Sunnah yang semoga dirahmati dan diberkahi oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. 

Pada kesempatan yang berbahagia ini kita akan bersama-sama mengkaji sebuah kitab yang sangat bagus yang ditulis oleh Asy Syaikh Al Albani rahimahullah, yakni kitab Sifat Shalat Nabi atau sebagaimana judul aslinya Shifatu Shalatin Nabiyyi Shallallahu 'Alaihi sa Sallam Minattakbiri ilattaslim Ka-annaka Taraha (Sifat Shalat Nabi Mulai dari takbir sampai Salamnya Seakan-akan Anda Melihatnya).

Dan pada kesempatan kali ini kita akan masuk dalam pembahasan inti kitab.
 
صفة صلاة النبي صلى الله عليه وسلم من التكبير إلى التسليم كأنك تراها
 
"Sifat shalat yang Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa Sallam mulai dari takbir hingga salam seakan-akan engkau melihatnya"

Syaikh Albani rahimahullah di sini memulai dengan pembahasan:

  استقبال الكعبة 

Menghadap kiblat (menghadap Ka'bah).

Beliau mengatakan:

كان رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا قام إلى الصلاة استقبل الكعبة 
 
Apabila Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berdiri untuk shalat Beliau menghadap Ka'bah.

في الفرض والنفل

Baik dalam shalat fardhu maupun dalam shalat sunnah.

وأمر صلى الله عليه وسلم بذلك : فقال لـ (المسيء صلاته)

Dan Beliau memerintahkan hal itu dan bersabda kepada orang yang tidak benar dalam shalatnya.

Ini adalah dalil mengapa menghadap kiblat diwajibkan karena Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam memerintahkannya dan perintah pada asalnya menunjukkan kewajiban. Semua perintah dalam syariat pada asalnya menunjukkan kewajiban kecuali jika ada dalil lain yang mengubah petunjuk kewajiban tersebut menjadi sunnah atau menjadi yang lainnya.

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mengatakan:

إذا قمت إلى الصلاة فأسبغ الوضوء، 
 
Apabila kamu hendak mendirikan shalat Maka lakukanlah wudhu dengan sempurna.

Disini ada perintah untuk menyempurnakan wudhu, sehingga menyempurnakan wudhu menjadi wajib. 

Kenapa demikian? 

Karena pada asalnya semua perintah dari syariat adalah menunjukkan hukum wajib kecuali ada dalil lain yang mengubah petunjuk tersebut.

ثم استقبل القبلة، فكبر
 
Kemudian menghadaplah ke kiblat dan bertakbirlah.

Ini perintah, "Menghadaplah ke kiblat." 

Perintah menunjukkan kewajiban, sehingga menghadap ke kiblat saat shalat adalah wajib.

"Dan bertakbirlah," ini juga perintah.

Setiap perintah dalam syariat menujukkan kewajiban kecuali jika ada dalil lain yang menunjukkan bahwa perintah di situ tidak wajib. 

Dan para ulama membeda-bedakan sesuatu yang wajib ini sesuai dengan tempatnya. Makanya disana ada syarat, ada rukun, ada syarat sah, ada syarat wajib. 

Ini dibeda-bedakan kenapa? 

Karena keadaannya yang berbeda-beda atau tempat yang berbeda-beda. 

Misalnya, kenapa dikatakan syarat? 

Karena kewajibannya di luar ibadah, di luar ibadah yang diperintahkan. 

Syarat yang dimaksud menurut istilah para ulama adalah sesuatu yang diwajibkan dan dia tidak masuk dalam inti ibadah, dia di luar ibadah. 

Seperti apa? Wudhu. 

Ini syarat, karena wudhu tidak termasuk shalat sehingga dia disebut sebagai syarat. 

Orang tidak wudhu shalatnya sah atau tidak? Tidak.

Jadi dia harus wudhu. Ini wajib tapi di luar sehingga disebut sebagai syarat.

Sedangkan rukun adalah kewajiban yang terdapat di dalam ibadah yang diperintahkan. Misalnya di sini adalah takbir. Orang shalat tanpa Takbiratul Ihram Apakah sah shalatnya? Tidak.

Sehingga takbiratulihram menjadi wajib. Tapi karena dia termasuk dalam inti ibadah shalat, maka disebut rukun. 

Jadi syarat dan rukun ini sebenarnya semuanya diwajibkan tapi kenapa dibedakan? Karena syarat di luar inti dari ibadah tersebut. Sedangkan rukun adalah termasuk inti dari ibadah yang diperintahkan itu. 

Kemudian para ulama juga membagi syarat menjadi dua, syarat sah dan syarat wajib. Apa syarat sah dan apa syarat wajib? 

Lebih mudahnya kita lihat dari namanya. Syarat sah adalah syarat disahkannya sebuah ibadah. Syarat sebuah ibadah menjadi sah itulah syarat sah. 

Sedangkan syarat wajib adalah syarat diwajibkannya ibadah tersebut. 

Syarat sah contohnya adalah wudhu. Wudhu adalah syarat sahnya shalat.

Ketika shalat tanpa wudhu maka shalatnya tidak sah, tapi dia bukan syarat wajib, karena apa? 

Ada orang yang berwudhu tapi tidak wajib shalat. Seperti misalnya anak kecil, anak yang belum baligh, dia bisa wudhu. 

Wajib shalatkah dia? 

Tidak, karena belum baligh. Sehingga tidak butuh menjadi syarat sah. 

Kalau syarat wajib misalnya apa? Baligh. 

Orang yang sudah mencapai umur baligh maka dia wajib menjalankan shalat tapi dia bukan syarat sah. Ada orang yang baligh tapi shalatnya tidak sah. 

Misalnya orang baligh, tidak wudhu, kemudian shalat, ini menjadi syarat wajib. 

Jadi disana ada syarat, disana ada rukun. Syarat sah dan ada syarat wajib. Syarat adalah kewajiban oleh syariat sebelum melakukan ibadah, dia diluar ibadah.

Sedangkan rukun adalah semua kewajiban yang ada di dalam ibadah. 

Syarat sah adalah syarat yang diwajibkan, syarat yang menjadi syarat sebab sah nya ibadah. 

Sedangkan syarat wajib adalah syarat yang menjadi diwajibkannya ibadah untuk seseorang.

Intinya disini karena ada perintah dari Rasulullah
shallallahu'alaihi wa sallam menghadap ke kiblat saat shalat, maka menghadap ke kiblat saat shalat menjadi wajib. 

Dan menghadap kiblat ini termasuk syarat apa rukun? Rukun, karena harus dilakukan ketika shalat.

Demikianlah yang bisa kita kaji pada kesempatan kali ini. Semoga menjadi ilmu yang bermanfaat dan diberkahi oleh Allah Jalla wa 'Ala. 

InsyaaAllah kita akan lanjutkan pada kesempatan yang akan datang.

والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته


══════ ∴ |GiS| ∴ ══════  

🌏 https://grupislamsunnah.com

👤  Oleh: Ustadz Dr. Musyaffa Ad Dariny M.A. حفظه الله تعالى 

📚    *Kitab Shifatu Sholatin Nabiyyi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam Minattakbiri ilattaslim ka-annaka taroha (Sifat Shalat Nabi mulai dari takbir sampai salamnya seakan-akan Anda melihatnya) karya Asy Syekh Al-Albani -Rahimahullah.* 

Menghadap Kiblat pada Sholat Sunnah

════════════════

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله، وعلى آله و صحبه و من تبع هداه

Kaum muslimin dan muslimat yang saya cintai karena Allah, khususnya anggota GiS atau Grup Islam Sunnah yang semoga dirahmati dan diberkahi oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. 

Pada kesempatan yang berbahagia ini kita akan bersama-sama mengkaji sebuah kitab yang sangat bagus yang ditulis oleh Asy Syaikh Al Albani rahimahullah, yakni kitab Sifat Shalat Nabi atau sebagaimana judul aslinya Shifatu Shalatin Nabiyyi Shallallahu 'Alaihi sa Sallam Minattakbiri ilattaslim Ka-annaka Taraha (Sifat Shalat Nabi Mulai dari takbir sampai Salamnya Seakan-akan Anda Melihatnya).

Baiklah kita lanjutkan kajian kita.

Muallif mengatakan,

وكان رسول الله صلى الله عليه وسلم في السفر يصلي النوافل على راحلته، ويوتر عليها حيث توجهت به (شرقا وغربا)

Dahulu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, ketika Beliau sedang shafar Beliau shalat-shalat sunnah di atas tunggangan Beliau. Dan Beliau juga berwitir di atas tunggangan tersebut. Kemana pun beliau menghadap, baik menghadap ke timur maupun ke barat.

Kalau yang tadi menghadap kiblat itu asalnya wajib, mualif di sini ingin menjelaskan bahwa syarat ini atau kewajiban ini bisa berubah karena keadaan. Seperti keadaan shafar. 

Hadits ini menunjukkan perbuatan Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam. Kalau Nabi melakukan sesuatu, minimal petunjuk yang dihasilkan adalah bahwa hal tersebut dibolehkan. Karena Nabi adalah ma'sum, tidak mungkin Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam melakukan sesuatu tapi tidak dibolehkan, tidak mungkin. 

Setiap Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melakukan sesuatu dan Allah tidak mengingatkannya maka berarti sesuatu tersebut diridhai oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sehingga minimal perbuatan tersebut di dibolehkan. Dan derajatnya bisa meningkat menjadi disunahkan, bisa juga meningkat menjadi diwajibkan, sesuai dengan petunjuk yang ada di dalil tersebut.

Kadang Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam mewajibkan sesuatu kemudian Rasulullah mencontohkan bagaimana sesuatu tersebut dilakukan. Maka di sini perbuatannya menjadi wajib. Karena perbuatan tersebut menerangkan tentang kewajiban yang diperintahkan oleh Beliau. 

Kadang Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menganjurkan sesuatu, tidak mewajibkannya, dan beliau mencontohkan bagaimana praktek anjuran tersebut. Maka disini perbuatan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam menunjukkan hukumnya sunnah. 

Dan kadang Rasulullah shallallahu
'alaihi wa sallam melakukan sesuatu yang tidak ada hubungannya dengan perintah atau larangan, seperti misalnya makan. Maka makan menjadi mubah. Rasulullah tidur, tidur menjadi mubah. Bagaimana cara makannya, ini bisa menjadi sunnah, bisa menjadi wajib. 

Perbuatan Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam bisa menunjukkan banyak hukum. Kadang menjadi mubah, kadang menjadi sunnah, kadang menjadi wajib, tergantung dengam petunjuk-petunjuk yang ada di dalam perintah atau dalam perbuatan Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam tersebut.

Disini menunjukan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam ketika shafar, Beliau biasa shalat di atas kendaraannya dan Beliau tidak mengharuskan dirinya untuk selalu menghadap kiblat. 

Maka di dalam hadits ini kita mendapatkan dua kriteria:

1. Beliau di atas kendaraan.
2. Beliau shalat sunnah.

Ada kriteria yang ketiga tapi diperselisihkan oleh para ulama, apakah harus shafar ataukah tidak.

Tapi dua kriteria yang disebutkan di dalam hadits ini yaitu di atas kendaraan dan shalatnya shalat sunnah ini hampir seluruh ulama mengatakan boleh apabila kita di atas kendaraan dan shalat sunnah kita tidak menghadap kiblat. 

Dan para ulama mensyaratkan shalat di atas kendaraan adalah shalat sunnah bukan shalat fardhu sebagaimana dicontohkan oleh Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam. Dan di antara salat sunnah tersebut adalah shalat witir.

Makanya para ulama ketika berdalil bahwa shalat witir itu adalah shalat sunnah, berdalilnya dengan hadits ini. Karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam biasa shalat witir diatas kendaraan. Ini menunjukan bahwa shalat witir adalah seperti shalat-shalat sunnah yang lainnya. Walaupun shalat witir ini adalah shalat sunnah yang mu'akkadah (sunnah kuat).

Dahulu di zaman salaf, orang bisa menilai bahwa seseorang itu fasik, tidak diterima persaksiannya, yaitu dengan shalat witirnya. Kalau dia selalu meninggalkan shalat witir maka dia tidak diterima persaksiannya, itu di zaman dulu. Kalau diterapkan di zaman sekarang maka tidak ada orang yang bisa diterima persaksiannya. 

Ini menunjukkan betapa kuatnya perintah shalat witir. Sampai-sampai di madzhab Hanafi shalat witir itu diwajibkan. Ada sebuah hadits yang mengarah ke sana mengarah ke petunjuk bahwa shalat witir itu wajib. Tapi hadits tersebut hadits yang lemah yang dilemahkan oleh para ulama, makanya makanya para ulama meninggalkan hadits tersebut dan mengambil hadits ini yang shahih. Hadits yang shahih ini menunjukkan bahwa shalat witir adalah shalat sunnah. 

Kenapa demikian? 

Karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dahulu biasa shalat witir di atas kendaraan.

Demikianlah yang bisa kita kaji pada kesempatan kali ini, semoga menjadi ilmu yang bermanfaat dan diberkahi oleh Allah Jalla wa 'Ala. 

InsyaaAllah kita akan lanjutkan pada kesempatan yang akan datang.

والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته


══════ ∴ |GiS| ∴ ══════  


🌏 https://grupislamsunnah.com

👤  Oleh: Ustadz Dr. Musyaffa Ad Dariny M.A. حفظه الله تعالى 

📚    *Kitab Shifatu Sholatin Nabiyyi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam Minattakbiri ilattaslim ka-annaka taroha (Sifat Shalat Nabi mulai dari takbir sampai salamnya seakan-akan Anda melihatnya) karya Asy Syekh Al-Albani -Rahimahullah.* 

Menghadap Kiblat pada Sholat Sunnah Bag 02




════════════════

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله، وعلى آله و صحبه و من تبع هداه

Kaum muslimin dan muslimat yang saya cintai karena Allah, khususnya anggota GiS atau Grup Islam Sunnah yang semoga dirahmati dan diberkahi oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. 

Pada kesempatan yang berbahagia ini kita akan bersama-sama mengkaji sebuah kitab yang sangat bagus yang ditulis oleh Asy Syaikh Al Albani rahimahullah, yakni kitab Sifat Shalat Nabi atau sebagaimana judul aslinya Shifatu Shalatin Nabiyyi Shallallahu 'Alaihi sa Sallam Minattakbiri ilattaslim Ka-annaka Taraha (Sifat Shalat Nabi Mulai dari takbir sampai Salamnya Seakan-akan Anda Melihatnya).

Baiklah kita lanjutkan kajian kita.

Para ulama mensyaratkan shalat di atas kendaraan adalah shalat sunnah bukan shalat fardhu, sebagaimana dicontohkan oleh Nabi Muhammad shallallahu alaihi wa sallam. Dan di antara salat sunnah tersebut adalah shalat witir karena rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam biasa shalat witir diatas kendaraan. Ini menunjukan bahwa shalat witir seperti shalat-shalat sunnah yang lainnya, walaupun shalat witir ini adalah shalat sunnah yang mu'akkadah (sunnah kuat).

Mengenai hal itu turunlah firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا۟ فَثَمَّ وَجْهُ ٱللّهِ ۚ

Kemanapun kamu menghadap disanalah Wajah Allah.

(QS Al Baqarah: 115) 

Ini dalil bahwa kita shalat sunnah boleh menghadap kemanapun ketika di atas kendaraan. Jangan sampai nanti keluar dari masjid ini kemudian shalatnya menghadap kebanyak arah, karena di sini kita harus melihat yang sesuai dengan haditsnya. Kalau kita shalat di tempat, bukan di atas kendaraannya, walaupun shalat sunnah kita harus menghadap ke kiblat. Kalau di atas kendaraan baru bisa mengamalkan hadits tersebut, shalat sunnah yang di atas kendaraan. 

Yang diperselisihkan oleh para ulama, apakah di atas kendaraannya harus shafar? 

Shafar di sini apakah harus perjalanan panjang? 

Ataukah perjalanan pendek juga boleh? 

Ini yang diperselisihkan oleh para ulama. 

Kenapa mereka berbeda pendapat? 

Karena haditsnya mengatakan shafar. 

Yang mengatakan tidak harus shafar, mereka mengambil dalil di dalam ayat-Nya :

فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا۟ فَثَمَّ وَجْهُ ٱللّهِ

Kemanapun kamu menghadap disanalah wajah Allah.

Ayatnya umum, sedangkan di haditsnya ada ta'qid (pembatasan) yaitu shafar. Karena inilah para ulama berbeda pendapat. 

Yang lebih kuat dan dirajihkan oleh banyak ulama kontemporer saat ini adalah dibolehkan kita menghadap ke manapun ketika shalat sunnah di atas kendaraan, walaupun kita tidak sedang dalam keadaan shafar. Dibolehkan karena ayat-Nya:

فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا۟ فَثَمَّ وَجْهُ ٱللّهِ

Kemanapun kamu menghadap disanalah Wajah Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Maksudnya Wajah Allah di sini adalah arah Allah Subhanahu wa Ta'ala, arah yang di dibolehkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. 

Dan kata-kata wajah Allah di sini menunjukkan bahwa Allah punya Wajah. Adapun bagaimana Wajah-Nya maka ini tidak ada keterangan sedikitpun. Sehingga kita harus berhenti di sana. 

Ini adalah sesuatu yang ghaib, harus berdasarkan dalil. Ketika dalil menetapkannya maka kita tetapkan. Sedangkan bagaimana hakikat dari sifat tersebut maka kita tidak boleh mereka-rekanya.
Seperti misalnya Allah berada di atas Arsy, kita tetapkan sebagaimana ditetapkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. Hakekatnya memang demikian, Allah berada di atas Arys. Bagaimana hakikat Allah berada diatas Arsy, Allah tidak mengabarkan kepada kita, Rasulullah tidak mengabarkan kepada kita. Sehingga kita berhenti di sana. Inilah keyakinan Ahlus Sunnah wal Jama'ah (ahli salaf). Orang-orang yang mengikuti para shahabat Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam keyakinannya demikian. 

Mereka menetapkan apapun yang ditetapkan oleh Allah dan rasul-Nya, tanpa mentakwilnya. Kecuali jika ada dalil untuk ditakwilkan
Tetapi kalau tidak ada dalil, maka kita tetapkan dengan apa adanya, dengan tetap menjaga kemuliaan Allah Subhanahu wa Ta'ala dan menjaga kesucian-Nya. 

Allah Subhanahu wa Ta'ala punya Wajah, kita punya wajah, tapi wajah kita jauh dengan
Wajah Allah. Allah jauh lebih mulia, jauh lebih suci, jauh lebih sempurna.
 
Sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta'ala mendengar, kita juga mendengar tapi pendengaran kita jauh dibanding pendengaran Allah Subhanahu wa Ta'ala. Pendengaran Allah jauh lebih sempurna, pendengaran Allah lebih suci, pendengaran Allah lebih tinggi. Berbeda dengan pendengaran kita yang terbatas. 

Begitu pula Allah melihat kita, dua-duanya sama-sama melihat tapi ini bukan menyamakan antara Allah dengan makhluk-Nya karena kita masih membedakan bahwa penglihatan Allah jauh lebih sempurna, jauh lebih kuat daripada penglihatan makhluk-Nya. 

Makanya Allah melihat apapun yang ada di muka bumi ini, apapun yang ada di alam semesta, walaupun gelap, walaupun kecil, walaupun tertimbun, Allah melihat semuanya.

Berbeda dengan penglihatan makhluk-Nya, penglihatan makhluk sangat terbatas. Kalau tidak ada cahaya tidak bisa melihat. Inilah aqidah Ahlussunnah wal Jama'ah dalam memahami sifat Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Intinya ketika kita shalat sunah di atas kendaraan kita boleh menghadap ke manapun kendaraan menuju dan ini adalah kemurahan Allah Subhanahu wa Ta'ala. Ini bentuk ringannya syariat Islam sehingga kita bisa shalat di atas kendaraan. Karena shalat ini ibadah yang sangat dicintai oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. Ketika kita ingin shalat misalnya di dalam kemacetan kita ingat shalat sunnah.

Misalnya kita di dalam kemacetan sudah berangkat sebelum waktu Dhuha masuk di dalam kemacetan kita perkirakan kemacetan kita akan keluar dari kemacetan setelah shalat duha waktu shalat dhuha selesai. Kita shalat dhuha di atas kendaraan. Tidak hanya shalat dhuha saja, shalat-shalat sunnah mutlak bisa dilakukan di atas kendaraan tanpa harus menghadap ke kiblat dahulu. Kalau bisa menghadap kiblat dahulu itu lebih lebih baik.

Demikianlah yang bisa kita kaji pada kesempatan kali ini semoga menjadi ilmu yang bermanfaat dan diberkahi oleh Allah Jalla wa 'Ala. InsyaaAllah kita akan lanjutkan pada kesempatan yang akan datang.

والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته


══════ ∴ |GiS| ∴ ══════  


🌏 https://grupislamsunnah.com

👤  Oleh: Ustadz Dr. Musyaffa Ad Dariny M.A. حفظه الله تعالى 

📚    *Kitab Shifatu Sholatin Nabiyyi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam Minattakbiri ilattaslim ka-annaka taroha (Sifat Shalat Nabi mulai dari takbir sampai salamnya seakan-akan Anda melihatnya) karya Asy Syekh Al-Albani -Rahimahullah.* 

Ruku dan Sujud Ketika Solat Sunah Di Atas Kendaraan

════════════════

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله، وعلى آله و صحبه و من تبع هداه

Kaum muslimin dan muslimat yang saya cintai karena Allah, khususnya anggota GiS atau Grup Islam Sunnah yang semoga dirahmati dan diberkahi oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. 

Pada kesempatan yang berbahagia ini kita akan bersama-sama mengkaji sebuah kitab yang sangat bagus yang ditulis oleh Asy Syaikh Al Albani rahimahullah, yakni kitab Sifat Shalat Nabi atau sebagaimana judul aslinya Shifatu Shalatin Nabiyyi Shallallahu 'Alaihi sa Sallam Minattakbiri ilattaslim Ka-annaka Taraha (Sifat Shalat Nabi Mulai dari takbir sampai Salamnya Seakan-akan Anda Melihatnya).

Baiklah kita lanjutkan kajian kita.

Baiklah kita lanjutkan kajian kita.

Kemudian Muallif rahimahullah mengatakan, "Bagaimana ruku' dan sujudnya ketika kita shalat di atas kendaraan."

Dan dahulu bila Beliau ingin shalat sunnah di atas unta (tunggangan), di dalam kitab aslinya disebutkan:

وكان يركع ويسجد على راحلته إيماء برأسه، ويجعل السجود أخفض من الركوع.

Dahulu Beliau ruku' dan sujud di atas kendaraan beliau dengan cara menundukan kepala beliau dengan menjadikan gerakan sujud lebih rendah daripada gerakan ruku'.
 
Kalau menganggukkan itu hanya hanya sebentar saja. Kalau menundukkan kepalanya atau merendahkan kepalanya itu lebih-lebih pas terjemahannya. 

Kalau dalam naskah aslinya, ima-an itu artinya isyarat, memberikan isyarat, maksudnya memberikan isyarat dengan ditundukkan kepalanya.

Ketika kita shalat sunnah di atas kendaraan, ketika kita ingin ruku', tidak harus ruku' seperti kita ruku' saat berdiri, tapi cukup dengan menundukkan kepala. 

Ketika sujud juga demikian, tidak harus sujud sebagaimana kita sujud ketika shalat di bawah. Tapi, cukup memberikan isyarat dengan menundukkan kepala. 

Dan kita harus bedakan antara menundukkan kepala saat ruku' dan saat sujud. Menundukkan kepalanya ketika ruku' lebih tinggi daripada ketika sujud. Tentunya cara-cara yang seperti ini jika di kendaraan-kendaraan yang kita tidak bisa shalat dengan keadaan berdiri. Ketika kita mampu untuk berdiri maka kita harus berdiri. Nanti dibahas di pembahasan setelah ini. 

Tapi yang di maksud disini adalah ketika kita di atas kendaraan dan kita tidak bisa berdiri. 

Kalau kita bisa berdiri, seperti misalnya di pesawat, kadang ada mushala, misalnya di Saudi Airline disediakan mushola di dalam pesawat, maka ketika itu kita shalatnya sebaiknya dalam keadaan berdiri, kecuali shalat fardhu.

Kalau shalat fardhu, ketika masih bisa berdiri maka harus berdiri. Seperti misalnya di atas kapal, kalau kapalnya besar maka kita bisa berdiri dengan mudah. Maka kita shalat dalam keadaan berdiri.

Jadi berbeda antara shalat wajib dengan shalat sunah. Kalau shalat wajib harus dengan berdiri. Shalat sunnah bisa dengan duduk tapi pahalanya setengahnya shalat dengan berdiri. 

Shalat dengan duduk itu pahalanya setengahnya shalat dengan berdiri. 

Bagaimana kalau orang tidak bisa berdiri? 

Apakah shalatnya dalam keadaan duduk masih mendapatkan pahala setengah? 

Jawabannyatetap dapat pahala penuh. Kenapa demikian? 

Karena dia mampunya hanya seperti itu. 

Intinya ketika kita ruku' dan sujud dalam keadaan shalat yang demikian, shalatnya di atas kendaraan, shalatnya sunnah dan dalam keadaan duduk, maka kita dan sujudnya dengan menundukkan kepala. Dan ketika sujud, kepala kita lebih rendah daripada ketika ketika ruku'.

Kemudian muallif rahimahullah mengatakan:

وكان رسول الله صلى الله عليه وسلم -أحيانا- إذا أراد أن يتطوع على راحلته، استقبل بها القبلة، فكبر، ثم صلى حيث وجهه ركاربه. 
 
Dan Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam bila ingin shalat sunnah di atas untanya terkadang Beliau juga menghadapkan untanya ke arah kiblat lalu bertakbir kemudian shalat kemanapun kendaraannya berlalu membawa Beliau.

Digaris bawahi kata-kata "terkadang". 

Jadi tidak mengapa seperti ini, kalau misalnya hal itu bisa dilakukan maka tentunya lebih afdhal karena ini menghadap ke kiblat. 

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam terkadang demikian. 

"Kemudian shalat kemanapun kendaraannya berlalu membawa Beliau," maksudnya shalat menghadap ke mana pun. 

Jadi tidak harus menyesuaikan arah kendaraannya lagi. Kalau arah kendaraannya, misalnya mengarah ke timur dan kita di Indonesia maka tidak harus membalikan tubuhnya, karena kemanapun kendaraan mengarah maka tidak masalah sama sekali. 

وكان إذا أراد أن يصلي الفريضة، نزل، فاستقبل القبلة.
 
Jika beliau ingin shalat fardhu beliau biasanya turun lalu menghadap kiblat.

Ini perbuatan Nabi Muhammad shallallahu'alaihi wa sallam, menunjukkan wajib. Kenapa demikian? 

Karena disini menjelaskan tentang ibadah yang diwajibkan yaitu shalat fardu.

Makanya kita harus mengikuti Beliau dalam hal ini. 

Tadi kaidahnya apa? 

Perbuatan Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam itu bisa menunjukkan sesuatu yang mubah, bisa menunjukkan sesuatu yang sunnah dan bisa menunjukkan sesuatu yang wajib. 

Mudahnya, ketika Beliau sedang menjelaskan sesuatu yang wajib maka perbuatan tersebut menjadi wajib.  

Ketika perbuatan tersebut menjelaskan sesuatu yang disunnahkan maka dia menjadi sunnah, ketika perbuatan tersebut tidak menjelaskan sesuatu yang wajib dan tidak menjelaskan sesuatu yang disunnahkan maka menjadi mubah, boleh untuk dilakukan dan semuanya ini masuk dalam cakupan sunnah Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam dalam istilah Ilmu aqidah.

Makanya jangan bingung dengan istilah-istilah para ulama. Jadi sunnah itu artinya banyak makanya jangan dibingungkan oleh orang-orang yang mengatakan, "Katanya, jenggot itu sunnah, kenapa kalau di tinggalkan malah berdosa. 

Kita katakan, yang dimaksud dengan sunnah tersebut adalah sunnah dalam masalah aqidah. Jadi, sunnah dalam bidang aqidah adalah semua syariat Islam, semua yang datang dari Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam bisa disebut sebagai sunnah. 

Lawannya apa?
Lawannya (adalah) bid'ah. 

Jadi bid'ah itu semua ibadah yang tidak datang dari Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam. 

Sunnah yang dalam fiqih, dalam bidang ushul fiqih, yang dimaksud sunnah disitu adalah lawan dari makruh. 

Dan kita paham dari konteks-konteks perkataan itu diucapkan. Makanya kalau dikatakan jenggot adalah sunnah Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, maka yang dimaksud disitu adalah sunnah yang merupakan ajaran Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam. 

Dan ajaran ini adalah umum, bisa sunnah dalam istilah ahli fiqih dan bisa juga wajib. 

Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam ketika Beliau ingin shalat fardhu maka beliau turun dari kendaraannya. Karena menjelaskan tentang shalat wajib maka petunjuknya menjadi wajib. Kita harus shalat dibawah tidak boleh diatas kendaraan ketika shalat wajib.

Beliau turun dan menghadap kiblat.

Ini juga petunjuk yang kedua. Menghadap ke kiblat dalam shalat fardhu juga wajib karena perbuatan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam ini menjelaskan tentang suatu ibadah yang wajib. 

Demikianlah yang bisa kita kaji pada kesempatan kali ini semoga menjadi ilmu yang bermanfaat dan diberkahi oleh Allah Jalla wa 'Ala. 

InsyaaAllah kita akan lanjutkan pada kesempatan yang akan datang.

والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته


══════ ∴ |GiS| ∴ ══════  

🌏 https://grupislamsunnah.com


👤  Oleh: Ustadz Dr. Musyaffa Ad Dariny M.A. حفظه الله تعالى 

📚    *Kitab Shifatu Sholatin Nabiyyi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam Minattakbiri ilattaslim ka-annaka taroha (Sifat Shalat Nabi mulai dari takbir sampai salamnya seakan-akan Anda melihatnya) karya Asy Syekh Al-Albani -Rahimahullah.* 

Menghadap Kiblat Dalam Kondisi Genting dan Cara Menentukan Ketika Tidak Tahu Samasekali Arah Kiblat

═══════════

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله، وعلى آله وصحبه ومن تبع هداه

Kaum muslimin dan muslimat yang saya cintai karena Allah, khususnya anggota GiS atau Grup Islam Sunnah yang semoga dirahmati dan diberkahi oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. 

Pada kesempatan yang berbahagia ini kita akan bersama-sama mengkaji sebuah kitab yang sangat bagus yang ditulis oleh Asy Syaikh Al Albani rahimahullah, yakni kitab Sifat Shalat Nabi atau sebagaimana judul aslinya Shifatu Shalatin Nabiyyi Shallallahu 'Alaihi sa Sallam Minattakbiri ilattaslim Ka-annaka Taraha (Sifat Shalat Nabi Mulai dari takbir sampai Salamnya Seakan-akan Anda Melihatnya).

Baiklah kita lanjutkan kajian kita.

Beliau menjelaskan tentang bagaimana ketika keadaannya sedang genting. Apakah kita disyaratkan harus menghadap kiblat? Maka beliau mengatakan:

وأما في صلاة الخوف الشديد
 
Adapun ketika shalat dalam keadaan kondisi yang takut (sangat genting).

فقد سن صلى الله عليه وسلم لأمته أن يصلوا رجالا، 

Maka Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam mensyari'atkan bagi umatnya untuk shalat sambil berjalan.

رجالاً قيامًا على أقدامهم أوركباناً، مستقبلي القبلة أوغير مستقبليها

Bisa dalam keadaan berjalan, berdiri atau di atas kendaraan baik menghadap kiblat ataupun tidak.

Ini karena keadaannya genting. Ini bukti bahwa Islam adalah agama yang dimudahkan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala.

Makanya Allah Subhanahu wa Ta'ala mengatakan:

ومَا جَعَلَ عَلَيْكُمْ فِي الدِّينِ مِنْ حَرَجٍ 
“Dan Dia tidak menjadikan kesukaran untukmu dalam agama.”

[Al Hajj: 78]

Allah Subhanahu wa Ta'ala tidak menjadikan kesulitan dalam agama ini.

Dan ini dalil bagi kaidah:

"المشقة تجلب التغيير"

Kesulitan itu bisa mendatangkan kemudahan.

Ketika dalam keadaan genting, dalam keadaan sulit, maka Allah dan rasul-Nya mengugurkan banyak kewajiban dalam shalat. 

Menghadap kiblat jadi gugur, berdiri dalam shalat fardhu gugur. Misalnya kita sedang perang (ketakutan) sedang dalam keadaan genting, tiarap misalnya, dalam waktu yang lama. Maka ketika waktu shalat datang dan kita tidak mungkin mengakhirkan lagi, ketika kita tiarap itu kita shalat fardhu. Gugur kewajiban berdiri di shalat fardhu karena keadaannya genting.

Menghadap kemanapun boleh. Di atas kendaraan atau di bawah kendaraan ini juga gugur. Syarat di bawah untuk yang naik kendaraan menjadi gugur karena kesulitan tersebut.

Kemudian Muallif rahimahullah mengatakan:

وقال صلى الله عليه وسلم: إذا اختلطوا، فإنما هو التتكبير والإشارة بالرأس، [البيهقي بسند الصحيحين]

Jika mereka sudah saling berbaur (menyerang) bercampur dalam pertempuran maka yang disyariatkan dalam shalat tersebut hanyalah takbir dan isyarat dengan kepala.

Ini lebih dahsyat lagi, jadi ruku'nya hilang, sujudnya hilang, gerakan-gerakan tertentu hilang semuanya diganti dengan isyarat saja. Mengisyaratkan dengan kepala.

Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam juga pernah bersabda:

وكان صلى الله عليه وسلم يقول: ((مابين المشرق والمغرب قبلة))
 [أخرجه الترمذي ١٧١ وابن ماجه ٣١٧

Arah antara tempat terbitnya matahari timur dan tempat terbenamnya matahari yaitu barat adalah kiblat.

Ini masalah lain, ini masalah perang yang dalam keadaan perang menghadap kiblat juga gugur. 

Sekarang ketika kita tidak bisa menentukan arah kiblat, tapi dalam keadaan aman, bagaimana solusinya? Apakah menghadap kiblat tetap diwajibkan? 

Kalau kita salah maka kita haruskah mengulang shalatnya?

Maka hadits ini menjelaskan hukum tersebut.

وقال جابر رضي الله عنه:

Jabir mengatakan:"

كنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم في مسيرة أو سرية، فأصابنا غيم، فتحرينا واختلفنا في القبلة، فصلى كل رجل منا على حدة، فجعل أحدنا يخط بين يديه لنعلم أمكنتنا، فلما أصبحنا نظرناه، فإذا نحن صلينا على غير القبلة، فذكرنا ذلك للني صلى الله عليه وسلم [فلم يأمرنا بالإعادة] وقال: ((قد أجزأت صلاتكم)) 
[أخرجه الدار قطني ١١٠، والحاكم ٢٠٦، والبيهقي ١٠، وله شاهد عند الترمذي، وابن ماجه، وآخر عند الطبراني، وهو مخرج في الإرواء (٢٩٦)

Kami pernah bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dalam sebuah perjalanan atau pasukan kecil (istilahnya syariyyah). Lalu kami ditutupi oleh awan hitam pekat (jadi langitnya mendung). Kami berusaha mencari dan berselisih pendapat.

Akhirnya masing-masing dari kami shalat mengikuti arah berdasarkan tempatnya masing-masing. Dan masing-masing kami juga menggaris di hadapannya (membuat garis di hadapannya) memberikan tanda agar kami dapat mengetahui tempat masing-masing.

Ketika memasuki pagi hari kami melihatnya. Ternyata kami shalat bukan ke arah kiblat. Lantas kami melaporkan kepada Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam.

Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam tidak memerintahkan kami agar mengulanginya dan Beliau hanya bersabda, "Shalat kalian sudah sah (cukup)."

Kiblatnya salah tapi mereka sudah berusaha mencari arah kiblat. Kalau kita tidak tahu arah kiblat maka kita harus berusaha semaksimal mungkin. 

Makanya kata-katanya "takharrayna" yang artinya berusaha untuk memperkirakan (arah kiblat). Ini menjadi kewajiban. Tidak boleh ketika kita tidak tahu arah kiblat kemudian langsung menentukan arah tanpa berusaha dahulu, misalnya bertanya kepada yang lain atau misalnya sekarang ada aplikasi hp yang bisa memberikan arah kita untuk bisa shalat ke arah kiblat. 

Intinya, harus berusaha semaksimal mungkin untuk menentukan arah kiblat dulu apabila kita tidak tahu arah kiblat. 

Setelah itu baru shalat, kalau ternyata masih salah tidak mengapa kewajibannya sudah digugurkan. 

{لَا يُكَلِّفُ اللّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا}
 
"Allah tidak membebani seseorang kecuali dengan kemampuannya."

[QS Al Baqarah: 286]

Demikianlah yang bisa kita kaji pada kesempatan kali ini semoga menjadi ilmu yang bermanfaat dan diberkahi oleh Allah Jalla wa 'Ala. 

Insyaa Allah kita akan lanjutkan pada kesempatan yang akan datang.

والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته


══════ ∴ |GiS| ∴ ══════  


🌏 https://grupislamsunnah.com

👤  Oleh: Ustadz Dr. Musyaffa Ad Dariny M.A. حفظه الله تعالى 

📚    *Kitab Shifatu Sholatin Nabiyyi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam Minattakbiri ilattaslim ka-annaka taroha (Sifat Shalat Nabi mulai dari takbir sampai salamnya seakan-akan Anda melihatnya) karya Asy Syekh Al-Albani -Rahimahullah.* 

Sejarah Perubahan Arah Kiblat


═══════════

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله، وعلى آله وصحبه ومن تبع هداه

Kaum muslimin dan muslimat yang saya cintai karena Allah, khususnya anggota GiS atau Grup Islam Sunnah yang semoga dirahmati dan diberkahi oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. 

Pada kesempatan yang berbahagia ini kita akan bersama-sama mengkaji sebuah kitab yang sangat bagus yang ditulis oleh Asy Syaikh Al Albani rahimahullah, yakni kitab Sifat Shalat Nabi atau sebagaimana judul aslinya Shifatu Shalatin Nabiyyi Shallallahu 'Alaihi sa Sallam Minattakbiri ilattaslim Ka-annaka Taraha (Sifat Shalat Nabi Mulai dari takbir sampai Salamnya Seakan-akan Anda Melihatnya).

Baiklah kita lanjutkan kajian kita,
Muallif rahimahullah sekarang (akan) menjelaskan bagaimana sejarah memghadap kiblat ini. Dahulu di awal Islam, kiblat shalat adalah Baitu Maqdis. Kemudian setelah itu dipindah Allah Subhanahu wa Ta'ala ke Masjidil Haram. 

و كان صلى الله عليه وسلم يصلي نحو بیت المقدس - [ والكعبة بين يديه ] - قبل أن تنزل هذه الآية : {قد نرى تقلب وجهك في السماء فلنولينك قبلة ترضاها فول وجهك شطر المسجد الحرام(ه) ، فلما نزلت استقبل الكعبة ، فبينما الناس بقباء في صلاة الصبح ؛ إذ جاءهم آت فقال : إن رسول الله صلى الله علية وسلم قد أنزل عليه الليلة قرآن، وقد أمر أن يستقبل الكعبة [ألا] فاستقبلوها. وكانت وجوههم إلى الشام، فاستداروا، [واستدار إمامهم حتى استقبل بهم القبلة].

Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam pernah shalat di Baitul Maqdis diawal-awal islam dan menjadikan Ka'bah berada di antara Beliau dengan Baitul Maqdis sementara Ka'bah di depan Beliau sebelum diturunkannya ayat ini:

"Kami melihatmu wahai Muhammad, sering menengadah ke langit (berdoa kepada Allah agar Allah mengalihkan kiblat kaum muslimin). Maka akan Kami palingkan engkau ke kiblat yang engkau senangi."

Diijabahi oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala doanya:

"Palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram."

Ini perintah dan semua perintah menunjukan kewajiban, artinya kita wajib untuk menghadap ke kiblat (Masjidil Haram sekarang). 

Tatkala turun ayat ini, Beliaupun menghadap ke arah Ka'bah. Sementara waktu itu waktu orang-orang yang berada di Kuba.

Ini menjelaskan tentang bagaimana keadaan para shahabat ketika itu.

Shahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam di Madinah itu berpencar-pencar ada yang di Masjid Nabawi, ada yang di Masjid Kuba, ada yang di Masjid Bani Salimah (Masjid Qiblitain). Jadi ada tempat-tempat kerumunan masyarakat, sehingga ketika ayat turun di masyarakat Masjid Nabawi belum tentu langsung sampai ke masyarakat yang ada di Masjid Kuba Dan inilah yang terjadi ketika turun ayat untuk menghadap ke Masjidil Haram dalam shalat.

Sementara itu orang-orang Kuba sedang melaksanakan shalat subuh, jadi ayatnya turun malam hari dan belum sampai ke masyarakat yang ada di Kuba dan mereka ketika itu shalat dengan menghadap Baitul Maqdis. 

Tiba-tiba datang seorang seraya mengabarkan bahwa telah diturunkan kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam Al Quran pada malam itu yang memerintahkan Beliau agar menghadap ke Ka'bah.

Ketika itu mereka masih menghadap ke arah Syam ini kalau di Madinah arahnya ke utara, karena Syam itu dari kata-kata syamal arahnya utara.

Lantas imam mereka memutar hingga menghadap ke arah Ka'bah bersama mereka.

Bagaimana Imamnya ini? 

Yang asalnya paling depan menjadi paling belakangnya, jadi harus ada gerakan. Ini menunjukkan bahwa gerakan, walaupun banyak, di dalam shalat kalau untuk menyempurnakan shalat maka tidak masalah.

Yang tadinya Imam di paling belakang dia harus berjalan ke depan, inilah yang terjadi di zaman Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, tidak ada yang mengingkari sama sekali. Menunjukan gerakan di dalam shalat walaupun banyak tapi untuk kemaslahatan shalat maka di diperbolehkan. 

Seperti misalnya kalau ada HP berdering, jangan dibiarkan, tapi tutup langsung karena itu berhubungan dengan maslahat shalat. Kalau tidak dimatikan langsung, berapa kaum muslimin yang shalat akan terganggu. Apalagi kalau yang berdering adalah dangdutan bisa bergoyang semua orang yang ada di masjid dan ini mengganggu kekhusyukan orang dalam shalat. Tidak hanya satu orang yang diganggu, seluruh masjid. 

Maka kalau misalnya HP kita berdering, segera dimatikan karena hal itu termasuk maslahat shalatnya. Atau melihat ular maka bergerak untuk membunuhnya dahulu kemudian setelah itu diteruskan shalat. Karena ini membahayakan shalatnya orang itu juga. 

Maka dibolehkan melakukan gerakan walaupun banyak kalau berhubungan dengan maslahat shalat, ada kebutuhan yang mendesak untuk itu. Sebagaimana shahabat Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam ketika shalat di Kuba, imamnya melakukan gerakan yang banyak. 

Seperti misalnya ketika orang tidak bisa duduk dengan duduknya orang shalat, dia boleh untuk melakukan gerakan-gerakan misalnya memposisikan dirinya duduk bersila atau kakinya tidak ditekuk, kakinya lurus, tapi dia masih mampu kalau berdiri.  

Maka ketika dia berdiri maka dia harus berdiri, tapi ketika akan sujud karena dia tidak bisa menekuk maka dia bisa duduk dulu dalam keadaan kaki dipanjangkan. Ini memerlukan gerakan yang banyak tapi karena gerakan ini untuk maslahat shalatnya, maka tidak tidak apa-apa, tidak masalah, tidak mempengaruhi sah shalatnya.

Inilah keindahan Islam, Inilah Islam yang sangat memudahkan pemeluk-pemeluknya. Tapi tetap menjaga maslahat pemeluknya untuk akhiratnya. 

Jadi, mengapa Islam memerintahkan kita untuk beribadah, bukankah beribadah ini ada yang berat? 

Karena Islam menginginkan kita mendapatkan pahala di akherat ini, maslahat akherat kita. Tapi ketika ada kesulitan-kesulitan dalam melakukan ibadah tersebut maka diberikan kemudahan. Indah bukan? 

Islam memperhatikan kita di dunia juga memperhatikan kita di akherat.

Kalau Islam membolehkan kita untuk tidak beribadah maka apa yang terjadi? 

Bekal kita di akhirat menjadi menjadi sedikit. Agar bekal Kita di akhirat banyak, ada amalan-amalan yang diwajibkan. Kalau kurang banyak ada amalan-amalan yang disunnahkan.

Inilah indahnya Islam, yang memberikan kemaslahatan kepada pemeluknya. Maslahat dunia dan akhirat

Demikian yang bisa ana sampaikan pada kesempatan kali ini kurang lebihnya mohon maaf. 

Wallahu Ta'ala A'lam.

Demikianlah yang bisa kita kaji pada kesempatan kali ini semoga menjadi ilmu yang bermanfaat dan diberkahi oleh Allah Jalla wa 'Ala. 

Insyaa Allah kita akan lanjutkan pada kesempatan yang akan datang.

والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته


══════ ∴ |GiS| ∴ ══════  


Postingan populer dari blog ini

Al Fatihah 1

BIMBINGAN SINGKAT AMALAN HAJI

BEKAL ISLAM