Niat, Takbiratul Ihram

                   ╔══❖•ೋ°📖° ೋ•❖══╗
                                   
         Grup Islam Sunnah | GiS
         
                   ╚══❖•ೋ°👥° ೋ•❖══╝

🌏 https://grupislamsunnah.com/

👤 Oleh: Ustadz Dr. Musyaffa Ad Dariny M.A. حفظه الله تعالى

📚 *Kitab Shifatu Sholatin Nabiyyi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam Minattakbiri ilattaslim ka-annaka Taroha (Sifat Shalat Nabi mulai dari Takbir sampai Salamnya seakan-akan Anda Melihatnya) karya Asy Syekh Al-Albani -Rahimahullah.*

Pembahasan tentang Niat





══════════════════    

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله، وعلى آله وصحبه ومن تبع هداه 

Kaum muslimin dan kaum muslimat yang saya cintai karena Allah, khususnya anggota GiS -Grup Islam Sunnah- yang semoga dirahmati dan diberkahi oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. 

Pada kesempatan yang berbahagia ini kita akan bersama-sama mengkaji sebuah kitab yang sangat bagus yang ditulis oleh Asy Syaikh Al Albani rahimahullah, yakni kitab Sifat Shalat Nabi atau sebagaimana judul aslinya Shifatu Shalatin Nabiyyi Shallallahu 'alaihi wa Sallam Minattakbiri ilattaslim Ka-annaka Taraha (Sifat Shalat Nabi Mulai dari Takbir sampai Salamnya Seakan-akan Anda Melihatnya).


Kita sampai pada pembahasan tentang niat. Niat merupakan syarat di dalam shalat. Niat adalah syarat sah shalat. Shalat tidak akan sah kecuali apabila kita berniat, karena Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda: 

(( إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّات )) 

"Sesungguhnya semua amalan itu tergantung niatnya." 

Apabila niatnya tidak ada maka amalan tersebut juga tidak ada, dianggap tidak ada. Walaupun secara kenyataan ada, tapi dianggap dalam syariat tidak ada. 

(( وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى )) 

"Dan sesungguhnya seseorang akan mendapatkan pahala sesuai dengan niatnya." 

Makanya di dalam shalat juga demikian. Apabila dia meniatkan shalatnya untuk shalat Subuh, maka dia mendapatkan pahala shalat Subuh. Apabila dia meniatkan untuk shalat qobliyah Subuh maka dia akan mendapatkan pahala shalat qobliyah Subuh. Begitu seterusnya. 

Ini menunjukkan bahwa tanpa niat seseorang shalatnya tidak sah dan dia tidak mendapatkan pahala dari shalatnya. Dan kita juga sudah menyinggung bahwa niat ini tempatnya di hati. 

Niat ini tempatnya di hati. Dan Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam tidak mengajarkan sekalipun dalam hidupnya untuk melafalkan niat. Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah mengajarkan sekalipun di dalam hidupnya untuk melafalkan niat shalat ini. 

Makanya ulama-ulama yang mensyariatkan niat dengan melafalkannya tidak mendatangkan satupun riwayat tentang lafal niatnya Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam, atau lafal niatnya para sahabat Nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wa sallam. Ini dalil yang sangat kuat yang menunjukkan bahwa niat tidak disyariatkan untuk dilafalkan. 

Niat adalah amalan hati. Apabila amalan hati tersebut dilafalkan maka bukan menjadi amalan hati lagi. Sehingga melafalkan niat merupakan amalan yang tidak sesuai dengan tuntunan Nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wa sallam dan harusnya ditinggalkan. 

Kita mencukupkan apa yang telah dicukupkan oleh Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam. Ketika Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam hanya mengajarkan niat dengan hati, maka harusnya kita juga mengikuti beliau dalam berniat dengan hati. 

Para ulama yang mengatakan bahwa boleh melafalkan niat, mereka mengatakan bahwa dengan melafalkan niat tersebut seseorang bisa membantu hatinya untuk niat. 

Mengapa mereka mengatakan demikian? Sebabnya adalah karena sebelumnya ulama-ulama tersebut mempersulit masalah niat. Mereka mengatakan niat -misalnya- niat itu harus dari awal takbir sampai akhir takbir. Tidak boleh di sebagian takbir kemudian di sebagian yang lain (di sebagian takbir yang lain) kosong dari niat. Syarat-syarat seperti ini tidak pernah dijelaskan baik oleh Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam maupun oleh para sahabatnya. 

Dan ini sangat sulit. Bagaimana antum mengatakan "Allahu Akbar", antum harus mengatur niat dari ketika antum membaca 'a' sampai ketika antum membaca 'ra' sukun. Allahu Akbar, harus dari awal sampai akhir antum meniatkan di dalam hati. Tidak boleh di sebagian takbir saja. Harus dari awal sampai akhir. 

Tidak hanya itu, mereka membatasi niatnya dengan batasan yang sulit juga. Misalnya dengan mengatakan "ushalli" [ أصلي ] kemudian menyebutkan shalat tersebut fardhu atau tidak. Kemudian fardhunya ini fardhu Subuh atau fardu Dzuhur atau fardhu Ashar. Kemudian menyebutkan berapa rakaat, kemudian apakah bermakmum ataukah sebagai imam, apakah karena Allah atau tidak. Ini disebutkan sehingga menjadi sulit niat tersebut. Karena niat menjadi sangat sulit, akhirnya mereka mengatakan harus dibantu. Dibantu dengan apa? dengan melafalkan. 

Inilah yang menjadikan sebagian ulama mengatakan bahwa boleh melafalkan niat dengan lisan untuk membantu hati. Sebabnya karena tadi, karena niat dipersulit. 

Padahal sebenarnya niat sangat sederhana. Niat sangat sederhana; dengan menghadirkan perasaan di hati bahwa kita akan shalat Subuh, sudah selesai. Misalnya kita akan shalat Dzuhur, sudah selesai. Shalat Dzuhur jelas 4 rokaat. Kalau kita safar shalat Dzuhur 2 rokaat, jelas. Dan kalau kita shalat Dzuhur sudah pasti itu fardhu yang kita inginkan. Allah Subhanahu wa Ta'ala tahu apa yang ingin kita lakukan, apa yang ada di hati kita. 

Seharusnya sudah cukup dengan menghadirkan perasaan di hati, bahwa kita ingin (misalnya) shalat Subuh. Sudah cukup. Kemudian bertakbir. Makanya sesuatu yang tidak benar biasanya akan menggiring kepada sesuatu yang tidak benar yang lainnya. Makanya kalau kita tahu bahwa itu sesuatu yang tidak benar, jauh dari dalil, kita harus kembali kepada dalil.   

الرُّجُوْعُ إِلىَ الحَقِّ خَيْرٌ مِنْ التَمَادِي فِيْ البَاطِلِ 

"Kembali kepada kebenaran itu lebih baik daripada terus-menerus dalam dalam kebatilan." 

Demikianlah yang bisa kita kaji pada kesempatan kali ini. Semoga menjadi ilmu yang bermanfaat dan diberkahi oleh Allah Jalla wa 'Alaa. 

InsyaaAllah kita akan lanjutkan pada kesempatan yang akan datang. 

والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته 

══════ ∴ |GiS| ∴ ══════  


🌏 https://grupislamsunnah.com/

👤  Oleh : Ustadz Dr. Musyaffa Ad Dariny M.A. حفظه الله تعالى 

📚    Kitab Shifatu Sholatin Nabiyyi Shalallahu 'Alaihi Wa Sallam Minattakbiri ilattaslim ka-annaka taroha (Sifat Shalat Nabi mulai dari takbir sampai salamnya seakan-akan Anda melihatnya) karya Asy Syekh Al-Albani -Rahimahullah.

Pembahasan tentang Takbiratul Ihram 



═══════════════════    

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله، وعلى آله وصحبه ومن تبع هداه 

Kaum muslimin dan kaum muslimat yang saya cintai karena Allah, khususnya anggota GiS -Grup Islam Sunnah- yang semoga dirahmati dan diberkahi oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. 

Pada kesempatan yang berbahagia ini kita akan bersama-sama mengkaji sebuah kitab yang sangat bagus yang ditulis oleh Asy Syaikh Al Albani rahimahullah, yakni kitab Sifat Shalat Nabi atau sebagaimana judul aslinya Shifatu Shalatin Nabiyyi Shalallahu 'Alaihi wa Sallam Minattakbiri ilattaslim Ka-annaka Taraha (Sifat Shalat Nabi Mulai dari Takbir sampai Salamnya Seakan-akan Anda Melihatnya). 

Syaikh Al-Albani rahimahullah membahas tentang takbir. Takbir merupakan wajibnya shalat. Dan ini merupakan rukun karena takbiratul ihram letaknya di dalam shalat, sehingga menjadi rukun. 

Kita harus mengucapkannya dengan lisan kita. Tidak cukup hanya dengan perkataan hati, karena Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan salah seorang sahabatnya untuk bertakbir dengan lisannya, dengan perkataan. 

Dahulu Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam biasa membuka shalatnya dengan perkataan beliau [ اللهُ أَكْبَرُ ]. Di sini ada kata-kata "dengan perkataan" (ِبِقَولِه ), dan perkataan itu harus dengan lisan. Perkataan itu harus ada suaranya. Makanya kita harus berhati-hati dalam masalah ini. Jangan hanya perkataan hati saja kita membuka shalat kita. Ini belum cukup, harus dengan perkataan lisan. 

وَ أَمَرَ بِذَلِكَ (المُسِيْء صَلاَتَهُ) كَمَا تَقَدَّم 

"Dan Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam memerintahkan (orang yang melakukan shalat secara tidak benar) untuk mengucapkannya." 

Ini harus dengan ucapan. Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya. 

Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam juga bersabda: 

  (( إنَّه لا تَتِمُّ صلاةٌ لأحدٍ مِن الناسِ حتى يَتوضَّأَ فيضَعَ الوُضوءَ مَواضعَه، ثمَّ يقولَ: اللهُ أكبرُ )) 

--> Ini juga dalil lain bahwa ketika kita shalat kita harus bertakbir. Dan takbir tersebut harus dengan ucapan. 

"Sesungguhnya tidak sempurna shalat seseorang sehingga dia berwudhu lantas meletakkan wudhunya sesuai dengan tempatnya (maksudnya berwudhu secara sempurna), kemudian dia mengucapkan: Allahu Akbar" 

Beliau juga bersabda: 

(( مِفْتَاحُ الصَّلَاةِ الطُّهُورُ )) 

"Kunci shalat adalah bersuci" 

(( وَتَحْرِ يمُهَا التَّكْبِيرُ )) 

"dan tahrim-nya adalah ucapan takbir" 

Tahrim maksudnya adalah sesuatu yang mengharamkan. 
Yang asalnya boleh makan, setelah itu tidak boleh makan dan minum di dalam shalat. Yang asalnya boleh melakukan sesuatu yang dihalalkan (banyak sesuatu yang dihalalkan sebelum shalat) ketika dia takbir menjadi haram. 
Makanya namanya "Takbiratul Ihram", takbir yang mengharamkan. 
Sesuatu yang asalnya dihalalkan misalnya banyak bergerak, menjadi tidak boleh lagi; berbicara dengan manusia menjadi tidak boleh lagi yang asalnya boleh.  

(( وَتَحْرِيمُهَا التَّكْبِيرُ )) 

"dan tahrim-nya adalah ucapan takbir" 

Kata-kata "ucapan takbir" ini menunjukkan bahwa takbir itu harus dengan ucapan. 

(( وَتَحْلِيلُهَا التَّسْلِيمُ )) 

"dan tahlil-nya adalah ucapan salam" 

Tahlil ini kebalikan dari tahrim yang menjadikan dia halal kembali. 
Yang asalnya tadi diharamkan untuk berbicara; diharamkan untuk makan dan minum; diharamkan untuk banyak bergerak; sekarang menjadi halal lagi. 
-> Mengakhiri shalat tersebut dengan dengan salam. 

Dan dahulu Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam mengangkat suaranya takbir-nya sampai orang-orang yang di belakangnya mendengar suara beliau. 

(( وَكَانَ يَرْفَعُ صَوْتَهُ بِالتَّكْبِيْرِ حَتَّى يُسْمِعَ مَنْ خَلْفَهُ )) 

Beliau Shalallahu 'alaihi wa sallam dahulu mengeraskan suara Beliau dengan ucapan takbirnya, sehingga Beliau menjadikan para makmum (orang-orang yang shalat di belakang Beliau) mendengar ucapan Beliau, mendengar takbir Beliau. 

Demikianlah yang bisa kita kaji pada kesempatan kali ini. Semoga menjadi ilmu yang bermanfaat dan diberkahi oleh Allah Jalla wa 'Alaa. 

InsyaaAllah kita akan lanjutkan pada kesempatan yang akan datang. 

والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته 

══════ ∴ |GiS| ∴ ══════  


👤  Oleh : Ustadz Dr. Musyaffa Ad Dariny M.A. حفظه الله تعالى 

📚    Kitab Shifatu Sholatin Nabiyyi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam Minattakbiri ilattaslim ka-annaka taroha (Sifat Shalat Nabi mulai dari takbir sampai salamnya seakan-akan Anda melihatnya) karya Asy Syekh Al-Albani -Rahimahullah.

Pembahasan tentang Takbiratul Ihram Bag 02 


═══════════════════ 

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله، وعلى آله وصحبه ومن تبع هداه 

Kaum muslimin dan kaum muslimat yang saya cintai karena Allah, khususnya anggota GiS -Grup Islam Sunnah- yang semoga dirahmati dan diberkahi oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. 

Pada kesempatan yang berbahagia ini kita akan bersama-sama mengkaji sebuah kitab yang sangat bagus yang ditulis oleh Asy Syaikh Al Albani rahimahullah, yakni kitab Sifat Shalat Nabi atau sebagaimana judul aslinya Shifatu Shalatin Nabiyyi Shalallahu 'Alaihi sa Sallam Minattakbiri ilattaslim Ka-annaka Taraha (Sifat Shalat Nabi Mulai dari Takbir sampai Salamnya Seakan-akan Anda Melihatnya). 

Syekh Al-Albani rahimahullah membahas tentang takbir. 
Beliau mengatakan, 

(( وَ كَانَ إِذَا مَرِضَ ))

Dan dahulu Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam ketika beliau sakit, 

(( رَفَعَ أَبُو بَكْرٍ صَوْتَهُ )) 

Abu Bakar mengangkat suaranya. 

(( رَفَعَ أَبُو بَكْرٍ صَوْتَهُ حَتَّى يُسْمِعَ مَنْ خَلْفَهُ، يُبَلِّغُ النَّاسَ تَكْبِيْرَهُ صلى الله عليه وسلم )) 

Sahabat Abu Bakar mengangkat suara takbirnya untuk menjadikan manusia yang lain mendengar takbirnya Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wa sallam. 

Ini dalil disyariatkannya mengulang takbirnya Imam dengan suara yang keras agar makmum mendengar. Bukan berarti Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam tidak mengucapkan takbirnya, tapi Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam ketika shalat suara beliau menjadi lemah. Padahal makmum beliau banyak. Ketika makmum beliau banyak, maka yang di belakang apabila suaranya Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam rendah, lemah karena beliau sakit, maka butuh orang lain untuk menyampaikan gerakan Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wa sallam. 

Agar mereka tahu gerakan Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam, harus ada suara yang sampai kepada makmum yang jauh. Makanya sahabat Abu Bakar radhiallahu anhu mengangkat suaranya. 

Ini disyariatkan kalau imamnya suaranya lemah dan tidak sampai kepada makmum, atau makmum yang jauh. Kalau sudah sampai, tidak perlu. Yang sesuai dengan sunnah adalah yang demikian. 

Jadi menyampaikan suara imam kepada makmum yang jauh, itu disyariatkan ketika dibutuhkan. Ketika tidak dibutuhkan maka tidak disyariatkan. 

Seperti misalnya sekarang, orang sekarang walaupun makmumnya sebanyak apapun, sudah cukup dengan mikrofon. Karena suara dia sudah sampai ke makmum yang paling belakang, bahkan sudah sampai keluar masjid. Sehingga tidak perlu lagi ditambahi dengan suara orang lain untuk menyampaikan suara tersebut kepada makmum yang terjauh, karena semuanya sudah tahu. 

Makanya di zaman Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wa sallam prakteknya juga demikian. Kalau Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam suaranya bisa keras maka tidak ada yang menyampaikan suara beliau, tidak ada yang mengulangi agar makmum yang paling jauh mendengar suara beliau. Tidak ada. Tapi sahabat Abu Bakar radhiallahu anhu mengulangi suara beliau, suara takbir beliau, ketika suara beliau lemah. Sehingga dimungkinkan makmum yang terjauh tidak mendengar suara beliau. 

وَكَانَ يَقُوْلُ: (( إِذَا قَالَ الإِمَامُ ؛ اللهُ أَكْبَرُ؛ فَقُوْلُوا اللهُ أَكْبَرُ )) 

Dahulu Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam pernah mengatakan: "Apabila seorang Imam mengatakan/mengucapkan Allahu Akbar, maka ucapkanlah Allahu Akbar". 

Ini menunjukkan bahwa takbir ini tidak hanya wajib bagi imam saja. Tapi juga wajib bagi makmum. 

Makanya makmum ketika bertakbir terutama Takbiratul Ihram, ucapkanlah dengan lisan. Jangan hanya dengan hati. Karena "perkataan hati" bukan "ucapan". Yang dimaksud dalam bahasa Arab, "ucapan" itu hanya khusus lisan saja. Kalau orang Arab ingin mengatakan ucapan hati, mereka akan menambah, menambah batasan dengan menambah kata-katanya: "ini ucapan hati". Tapi kalau hanya "ucapan" saja, yang mereka maksud adalah "ucapan lisan". 

Kemudian, kalau tadi kita lihat dari awal sampai akhir dalil-dalil yang disebutkan oleh Syaikh Albani rahimahullah, tidak ada satupun dalil-dalil tersebut yang mengubah kata-kata "Allahu Akbar" dengan kata-kata yang lain. Walaupun misalnya ada kata yang lain yang bisa mewakili Allahu Akbar, ini tidak disyariatkan. Karena tidak pernah satu kali pun Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wa sallam mengganti kata-kata Allahu Akbar dengan kata-kata yang lainnya. Misalnya dengan mengatakan Arrahmaanu Akbar. Ini bisa mewakili tapi tidak disyariatkan. Karena Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam dahulu tidak pernah melakukan hal yang seperti ini. Misalnya lagi, Arrahiimu a'dzam, tidak diperbolehkan. Karena apa? Karena kita shalat harus sesuai dengan tuntunan Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wa sallam. 

(( صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُوْنِيْ أُصَلِّي )) 

"Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku shalat" 

Ketika Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah satu kali pun mengganti lafal takbirnya dengan lafal takbir yang lain dan beliau hanya mencontohkan "Allahu Akbar", maka itulah yang disyariatkan. 

Ustadz, bagaimana kalau dengan bahasa Indonesia "Allah Maha Besar". 
Kita katakan tidak boleh, walaupun makna tersebut mewakili lafal Allahu Akbar. Makanya tidak boleh kita -misalnya- mengganti bacaan Al-fatihah dengan terjemahnya. Walaupun bisa mewakili, tetap saja tidak diperbolehkan karena Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam dahulu shalatnya tidak demikian. Mengganti dengan bahasa Arab pun yang semakna, ini tidak diperbolehkan, apalagi mengganti dengan bahasa lain. 

Demikianlah yang bisa kita kaji pada kesempatan kali ini. Semoga menjadi ilmu yang bermanfaat dan diberkahi oleh Allah Jalla wa 'Alaa. 

InsyaaAllah kita akan lanjutkan pada kesempatan yang akan datang. 

والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته 

══════ ∴ |GiS| ∴ ══════  



🌏 https://grupislamsunnah.com/

👤 Oleh : Ustadz Dr. Musyaffa Ad Dariny M.A. حفظه الله تعالى

📚 Kitab Shifatu Sholatin Nabiyyi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam Minattakbiri ilattaslim ka-annaka taroha (Sifat Shalat Nabi mulai dari takbir sampai salamnya seakan-akan Anda melihatnya) karya Asy Syekh Al-Albani -Rahimahullah.

Pembahasan tentang Mengangkat Tangan Ketika Takbiratul Ihram


═══════════════════ 

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله، وعلى آله وصحبه ومن تبع هداه 

Kaum muslimin dan kaum muslimat yang saya cintai karena Allah, khususnya anggota GiS -Grup Islam Sunnah- yang semoga dirahmati dan diberkahi oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. 

Pada kesempatan yang berbahagia ini kita akan bersama-sama mengkaji sebuah kitab yang sangat bagus yang ditulis oleh Asy Syaikh Al Albani rahimahullah, yakni kitab Sifat Shalat Nabi atau sebagaimana judul aslinya Shifatu Shalatin Nabiyyi Shalallahu 'Alaihi sa Sallam Minattakbiri ilattaslim Ka-annaka Taraha (Sifat Shalat Nabi Mulai dari Takbir sampai Salamnya Seakan-akan Anda Melihatnya). 

Syaikh Al-Albani rahimahullah membahas tentang mengangkat kedua tangan. 

Mengangkat kedua tangan ketika Takbiratul Ihram, ini juga sesuatu yang diwajibkan karena Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam dahulu melakukannya demikian. 

(( وكَانَ يَرْفَعُ يَدَيْهِ تَارَةً مَعَ التّكْبِيْرِ )) 

Syaikh Albani rahimahullah di sini menjelaskan tentang kapan kita mengangkat tangan: ketika Takbiratul Ihram. Beliau mengatakan dahulu Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam kadang mengangkat tangannya ketika takbir, bersamaan dengan takbirnya. Ketika takbir, ketika itu diangkat. Ini bersamaan. 

(( وَتَارَةً بَعْدَ التَكْبِيْرِ )) 

Kadang-kadang setelah selesai takbir.
-> Berarti: "Allahu Akbar", baru mengangkat tangan. 

(( وَتَارَةً قَبْلَهُ )) 

Kadang-kadang sebelum takbir.
-> Jadi mengangkat tangan dahulu, (lalu) "Allahu Akbar". 

Ini variasi yang diberikan oleh Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wa sallam dalam mengangkat tangan. 

Dan khilaf yang seperti ini namanya khilaf tanawwu'. Khilaf yang seperti ini (perbedaan yang seperti ini) adalah perbedaan yang tanawwu'. 
Tanawwu' maksudnya adalah variasi; variasi ibadah. Ada cara melakukannya berbeda-beda, tapi semuanya diriwayatkan dari Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wa sallam dengan sanad yang shahih. Sehingga kita boleh memilih salah satu dari cara tersebut. 

Perbedaan yang seperti ini bukan perbedaan yang bertentangan. Kenapa demikian? Karena Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam shalatnya di dalam hidupnya banyak, dan kadang shalat yang demikian; kadang shalatnya demikian; kadang shalatnya demikian. Dan itu menunjukkan bahwa semua yang dilakukan oleh Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam adalah disyariatkan; adalah Sunnah fi'liyah. 

Mengangkat tangan tersebut bisa bersamaan dengan takbirnya, bisa setelah takbirnya, bisa sebelum takbirnya. 

(( وَكَانَ يَرْفَعُهُمَا مَمْدُوْدَةً الأَصَابَِع لَا يُفَرِّجْ بَيْنَهُمَا وَلَا يَضُمُّهَا )) 

Dahulu Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam ketika mengangkat dua tangannya, beliau mengangkatnya dalam keadaan jari-jemarinya dilepaskan, direntangkan. Beliau tidak merenggangkannya, Beliau juga tidak merapatkannya. 

Tapi biasa, dalam keadaan normal; tidak mengepal, tapi direntangkan dan tidak terlalu dirapatkan. Tidak terlalu direnggangkan; tapi wajar, tidak terlalu direnggangkan; tidak terlalu dirapatkan. 

(( وَكَانَ يَجْعَلُهُمَا حَذْوَ مَنْكِبَيْهِ )) 

Dan dahulu Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam menjadikan kedua tangannya sejajar dengan pundaknya. 

Sejajar dengan pundaknya; ini pundak, tangan sejajar dengan pundak. 

(( وَرُبِّمَا كَانَ يَرْفَعُهُمَا حَتَّى يُحَاذِيَ بِهِمَا فُرُوْعَ أُذُنَيْهِ )) 

Dan kadang-kadang Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya hingga sejajar dengan daun kedua telinga beliau. 

Berarti lebih tinggi lagi, sejajar dengan daun telinga Beliau. 

Ini juga khilaf tanawwu'. Kadang seperti ini; kadang seperti ini; kita boleh melakukan keduanya. 

Makanya kalau ada yang berbeda-beda dalam masalah ini, kalau kita sudah tahu ilmunya, kita tidak akan merasa sempit hati kita. Karena ada yang berbeda-beda seperti ini, kita tidak akan merasa bingung. Dan kita tahu bahwa semuanya adalah sesuai dengan tuntunan. Dahulu Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam melakukan semuanya. 

Demikianlah yang bisa kita kaji pada kesempatan kali ini. Semoga menjadi ilmu yang bermanfaat dan diberkahi oleh Allah Jalla wa 'Alaa. 

InsyaaAllah kita akan lanjutkan pada kesempatan yang akan datang. 

والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته 

══════ ∴ |GiS| ∴ ══════  


🌏 https://grupislamsunnah.com/

👤 Oleh: Ustadz Dr. Musyaffa Ad Dariny M.A. حفظه الله تعالى

📚 Kitab Shifatu Sholatin Nabiyyi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam Minattakbiri ilattaslim ka-annaka taroha (Sifat Shalat Nabi mulai dari takbir sampai salamnya seakan-akan Anda melihatnya) karya Asy Syekh Al-Albani -Rahimahullah.

Pembahasan tentang Meletakkan Tangan


═══════════════════    

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله، وعلى آله وصحبه ومن تبع هداه 

Kaum muslimin dan kaum muslimat yang saya cintai karena Allah, khususnya anggota GiS -Grup Islam Sunnah- yang semoga dirahmati dan diberkahi oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. 

Pada kesempatan yang berbahagia ini kita akan bersama-sama mengkaji sebuah kitab yang sangat bagus yang ditulis oleh Asy Syaikh Al Albani rahimahullah, yakni kitab Sifat Shalat Nabi atau sebagaimana judul aslinya Shifatu Shalatin Nabiyyi Shalallahu 'Alaihi wa Sallam Minattakbiri ilattaslim Ka-annaka Taraha (Sifat Shalat Nabi Mulai dari Takbir sampai Salamnya Seakan-akan Anda Melihatnya). 

Syaikh Al Albani rahimahullah membahas tentang masalah meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri. 

Ini diwajibkan karena Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam dahulu melakukannya demikian dan beliau memerintahkan umatnya. Bahkan ada sahabat Beliau yang dilihat oleh Beliau meletakkan tangan kirinya di atas tangan kanannya, akhirnya Beliau ubah. Beliau suruh untuk mengubah keadaan tersebut. 

Ini menunjukkan bahwa meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri merupakan kewajiban. 

Yang pertama beliau melakukannya demikian. Yang kedua Beliau memerintahkan, dan pada asalnya perintah itu menunjukkan hukum wajib. Kemudian yang ketiga Beliau mengingkari; ada orang yang tidak melakukan ini akhirnya Beliau ingkari, Beliau ubah. Dan pengingkaran menunjukkan bahwa hal tersebut pada asalnya diharamkan kecuali ada dalil yang mengubah petunjuk keharaman tersebut. 

(( وَكَانَ صلى الله عليه وسلم يَضَعُ يَدَهُ اليُمْنَى عَلَى اليُسْرَى )) 

Dahulu Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam di dalam shalatnya meletakkan tangan kanannya di atas tangan kiri. 

وَكَانَ يَقُوْلُ : (( إِنَّا مَعْشَرَ الأَنْبِيَاءِ أُمِرْنَا بِتَعْجِيْلِ فِطْرِنَا وَتَأْخِيْرِ سَحُوْرِنَا وَأَنْ نَضَعَ أَيْمَانَنَا عَلَى شَمَائِلِنَا فِيْ الصَّلاَةِ )) 

Dan Beliau dahulu juga mengatakan, "Sesungguhnya kami para nabi diperintahkan" 

Perintah menunjukkan kewajiban, kecuali ada dalil yang menjelaskan bahwa perintah tersebut bukan perintah wajib. 
Kita akan lihat di sini, 

(( أُمِرْنَا بِتَعْجِيْلِ فِطْرِنَا )) 

"Kami diperintahkan untuk menyegerakan buka puasa kami" 

Menyegerakan buka puasa ini, di sini dikatakan [ أُمِرْنَا ] "diperintahkan", tapi karena ada dalil yang menjelaskan bahwa kita tidak diwajibkan untuk menyegerakan buka puasa kita, maka menyegerakan buka puasa menjadi sunnah; tidak menjadi wajib walaupun di sini dikatakan [ أُمِرْنَا ] (diperintahkan). 

(( وتَأْخِيْرِ سَحُوْرِنَا )) 

"Kita diperintahkan untuk mengakhirkan sahur kami" 

Ini juga demikian; mengakhirkan sahur, walaupun di sini dikatakan "diperintahkan", tapi ada dalil lain yang menunjukkan bahwa mengakhirkan sahur itu adalah sunnah, tidak sampai pada derajat wajib. 

(( وَأَنْ نَضَعَ أَيْمَانَنَا عَلَى شَمَائِلِنَا فِيْ الصَّلاَةِ )) 

Dan kami diperintahkan (para nabi, para nabi diperintahkan) untuk meletakkan tangan kanan kami di atas tangan kiri kami di dalam shalat. 

Adapun perintah ini tidak ada dalil yang menunjukkan dibolehkannya, bahkan Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam mengingkari orang yang melakukan sebaliknya. Misalnya meletakkan tangan kirinya di atas tangan kanannya. Sehingga perintah (kata-kata [ أُمِرْنَا ] "kami diperintahkan") tetap menjadi wajib di bagian yang ini. 

(( وَمَرَّ بِرَجُلٍ وَهُوَ يُصَلِّي وَقَدْ وَضَعَ يَدَهُ اليُسْرَى عَلَى اليُمْنَى فَانْتَزَعَهَا )) 

Dan beliau pernah melewati seseorang ketika dia sedang shalat (orang tersebut sedang shalat), dan orang tersebut meletakkan tangan kirinya di atas tangan kanannya. Akhirnya Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam lepaskan tangannya dan meletakkan tangan kanannya di atas tangan kirinya. 

Rasulullah ingkari. Ini menunjukkan bahwa perintah untuk meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri adalah perintah kewajiban. 

Kemudian yang berikutnya: meletakkan kedua tangan di atas dada. 

Meletakkan kedua tangan di atas dada, ini yang paling afdal. Di atas dada kita, bukan di atas perut, bukan di atas pusar, bukan di pusarnya, bukan di bawah pusar. Tapi yang paling afdal adalah di atas dada kita. 

Para ulama khilaf dalam masalah ini. Ada yang mengatakan lebih afdal-nya di bawah pusar. Makanya antum akan dapatkan di dalam Madzhab Hanafi, lebih afdol-nya di bawah pusar. Ada yang mengatakan di atas pusar, sebagaimana Madzhab Syafi'i. 

Namun kalau kita merujuk kepada lafal hadits, ada sebuah hadits yang jelas-jelas mengatakan bahwa Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam dahulu meletakkan tangannya ketika shalat di atas dada beliau. Dan ini yang paling afdal karena paling dekat dengan lafal hadits. 

Antum kalau mendapatkan perkataan-perkataan atau perbedaan pendapat, dan salah satu di antara pendapat tersebut lebih dekat kepada lafal hadits, maka itu yang lebih kuat. 

Imam Nawawi rahimahullah ketika membahas masalah ini, beliau melihat haditsnya. Haditsnya tidak sesuai dengan pendapat madzhab beliau (madzhab beliau Mazhab Syafi'i). Para ulama Syafi'iyah mengatakan bahwa sunnahnya itu meletakkannya di atas pusar, pusar di atasnya lagi. Jadi antara pusar dengan dada. Apa yang beliau katakan? Dan meletakkan di atas pusar ini yang dekat dengan hadits. Walaupun sebenarnya belum sesuai dengan haditsnya, tapi beliau mengatakan demikian. Dan tempat di atas pusar itu dekat dengan dada. 

Yang lebih afdal sebenarnya adalah mengikuti hadits Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wa sallam. Benar-benar kita letakkan di atas dada kita. Itu yang seharusnya kita lakukan. 

Namun kalau masalah khilafiyah dalam masalah fiqih seperti ini, kita harus toleran dalam menjalankannya. Kalau kita misalnya menguatkan suatu pendapat, maka jangan sampai merendahkan pendapat yang lain. Selama pendapat yang lain ya, dulu pernah dikatakan oleh para imam, karena para imam tersebut tidaklah mengatakan sesuatu dalam masalah syariat kecuali mereka menyandarkannya kepada dalil. 

Saya di sini sedang membicarakan tentang para imam, bukan orang-orang di zaman ini. Para Imam dahulu mereka sangat takut dalam berfatwa. Ketika mereka menjelaskan tentang syariat Islam, tidak seperti orang-orang di zaman ini. Mereka ketakwaannya sangat tinggi. Sehingga mereka sangat takut untuk mengatakan sesuatu kecuali mereka mendasarkannya dengan dalil-dalil. 

Makanya sangat berbeda perbedaan pendapat di zaman dahulu dengan perbedaan pendapat di zaman ini. Di zaman ini semua orang mengatakan tentang syariat Islam. Kalau masalah syariat Islam, orang awam pun ramai di zaman ini. Tapi masalah-masalah seperti masalah kedokteran, mereka takut; masalah-masalah permesinan mereka takut. Tapi kalau masalah syariat seakan-akan itu milik semuanya. 

Makanya banyak sekali pendapat-pendapat di zaman ini yang tidak berdasar sama sekali, banyak sekali. Di zaman dahulu, pendapat-pendapat seperti ini sangat jarang sekali. Dan kalaupun ada mereka hanya jelaskan dan tidak membantahnya, dengan mengatakan, memahami perkataan ini sudah cukup untuk membantahnya, karena tidak ada dalilnya. 

Dulu sangat jarang pendapat-pendapat yang tidak berdasar dengan dalil karena dahulu orang-orang (kebanyakan manusia) sangat takut untuk berbicara di dalam masalah syariat. Oleh karenanya ketika para ulama yang demikian berbeda pendapat, mereka tidaklah berbeda pendapat kecuali karena mengikuti dalil yang sampai kepada mereka. Dan kalau mereka berbeda pendapat, keadaannya demikian, kita harus menghormati mereka semuanya. Kita memilih salah satu dari pendapat tersebut dengan tetap menghormati pendapat yang lain dan tidak mencela atau merendahkan mereka. Cukup kita menyampaikan apa yang kita yakini dengan dalilnya. 

Demikianlah yang bisa kita kaji pada kesempatan kali ini. Semoga menjadi ilmu yang bermanfaat dan diberkahi oleh Allah Jalla wa 'Alaa. 

InsyaaAllah kita akan lanjutkan pada kesempatan yang akan datang. 

والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته 

══════ ∴ |GiS| ∴ ══════  


🌏 WebsiteGiS: https://grupislamsunnah.com/


👤 Oleh: Ustadz Dr. Musyaffa Ad Dariny M.A. حفظه الله تعالى

📚 Kitab Shifatu Sholatin Nabiyyi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam Minattakbiri ilattaslim ka-annaka taroha (Sifat Shalat Nabi mulai dari takbir sampai salamnya seakan-akan Anda melihatnya) karya Asy Syekh Al-Albani -Rahimahullah.

Pembahasan tentang (Lanjutan) Meletakkan Tangan dan Larangan Bertolak Pinggang Dalam Sholat



═══════════════════    

السلام عليكم ورحمة الله وبركاته
الحمد لله، والصلاة والسلام على رسول الله، وعلى آله وصحبه ومن تبع هداه 

Kaum muslimin dan kaum muslimat yang saya cintai karena Allah, khususnya anggota GiS -Grup Islam Sunnah- yang semoga dirahmati dan diberkahi oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala. 

Pada kesempatan yang berbahagia ini kita akan bersama-sama mengkaji sebuah kitab yang sangat bagus yang ditulis oleh Asy Syaikh Al Albani rahimahullah, yakni kitab Sifat Shalat Nabi atau sebagaimana judul aslinya Shifatu Shalatin Nabiyyi Shalallahu 'Alaihi wa Sallam Minattakbiri ilattaslim Ka-annaka Taraha (Sifat Shalat Nabi Mulai dari Takbir sampai Salamnya Seakan-akan Anda Melihatnya). 

Syaikh Al Albani rahimahullah membahas tentang masalah meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri. 

(( وَكَانَ يَضَعُ اليُمْنَى عَلَى ظَهْرِ كَفِّهِ اليُسْرَى )) 

Dahulu Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam biasa meletakkan tangan kanannya di atas [ كَف ]. 

Kaf adalah (punggung) telapak tangan - yang kiri, berarti seperti ini: di dada kemudian meletakkan tangan kanannya di atas Kaf (punggung telapak tangan). Ini model yang pertama; ini variasi yang pertama; cara yang pertama (tangan kanan memegang punggung telapak tangan kiri). 

(( وَالرُسْغِ )) 

Ar-rus'gh adalah ini (pergelangan tangan) 
atau seperti ini (tangan kanan memegang pergelangan tangan kiri)
bisa meletakkannya seperti ini (telapak tangan di atas punggung telapak tangan kiri)
bisa meletakkannya seperti ini (tangan kanan di atas pergelangan tangan kiri)
bisa meletakkannya seperti ini (pergelangan tangan kanan di atas pergelangan tangan kiri) 

(( وَالسَّاعِدِ )) 

Saa'id adalah ini, bagian ini (lengan bawah)
Beliau biasa meletakkan tangan kanan Beliau di atas punggung telapak tangan kiri, atau pergelangan Beliau (ini pergelangan), atau lengan bawah kiri, lengan bawah kiri, lengan bawah bagian ini.
Jadi, ini variasi. Boleh dilakukan semuanya. 

(( وَكَانَ يَضَعُهُمَا عَلَى الصَّدْرِ ))

Dan Beliau dahulu meletakkan kedua tangannya di atas dada. 

Kata-kata [ ِعَلَى الصَّدْر ] di atas dada, ini sangat jelas, menunjukkan bahwa Beliau dahulu meletakkannya di atas dada. Sehingga pendapat-pendapat yang menyelisihi lafal hadits ini menjadi lemah karena adanya hadits tersebut. 

Kemudian, tangan ini bisa hanya diletakkan di atas (punggung telapak tangan kiri), di atasnya, (atau) bisa dipegang, bisa dipegang seperti ini (tangan kanan memegang punggung tangan kiri); bisa hanya diletakkan saja. 
Ini juga variasi yang lain. 

Bisa seperti ini (telapak tangan kanan diletakkan di atas punggung telapak tangan kiri);
bisa seperti ini (tangan kanan memegang pergelangan tangan kiri);
bisa seperti ini (tangan kanan di atas pergelangan tangan kiri);
bisa seperti ini (pergelangan tangan kanan di atas pergelangan tangan kiri);
bisa dipegang (tangan kanan memegang lengan tangan kiri), bisa diletakkan saja. 

(( وَكَانَ يَنْهَى عَنِ الإِخْتِصَارِ فِيْ الصَّلاَةِ )) 

Dan dahulu Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam melarang dari tindakan bertolak pinggang dalam shalat. 

Ini tidak diperbolehkan di dalam shalat, Rasulullah shalallahu 'alaihi wa sallam dahulu melarangnya. Meletakkan kedua tangan di atas pinggang. Ini namanya [ إخْتِصَار ] bahasanya. Dan ini dilarang ketika kita shalat. 

Kenapa [ إخْتِصَار ] ini dilarang di dalam shalat? Karena disebutkan di sini: 

وَهُوَ الصُلْبُ الَذِيْ كَانَ يَنْهَى عَنْهُ 

Bertolak pinggang ini dilarang karena seperti bentuk penyaliban yang dulu pernah dilarang oleh Nabi Muhammad shalallahu 'alaihi wa sallam. Dan ini, tindakan seperti ini (bertolak pinggang)/ bentuk seperti ini, sangat tidak selaras dengan sikap tunduk dan sikap merendah ketika sedang menghadap Pencipta. Makanya hal tersebut dilarang/diharamkan. 

Ketika kita shalat, kita sedang menghadap kepada Dzat Yang Maha Besar, Dzat Yang Maha Agung, Dzat Yang Maha Mulia, Dzat yang menciptakan alam semesta ini. Makanya semua gerakan shalat menunjukkan ketundukan seorang hamba kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sehingga gerakan-gerakan yang bertentangan dengan nilai ketundukan, itu dilarang. 

Nanti kita akan mengetahui gerakan-gerakan di dalam shalat yang dilarang oleh Nabi Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam. Dan kalau kita lihat, larangan-larangan tersebut, kenapa dilarang? Karena bertentangan dengan nilai ketundukan. Misalnya gerakan seperti duduknya anjing; ini bertentangan dengan nilai ketundukan. Misalnya gerakan seperti mematuknya burung; ini juga tidak sesuai dengan nilai ketundukan. 

Orang yang tunduk tidak melakukan demikian. Dia melakukannya dengan sempurna. Dia melakukannya dengan tenang. Sedangkan tindakan atau sikap mematuk seperti mematuknya burung, ini bertentangan dengan nilai ketundukan kita kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. 

Seperti misalnya ini, bertolak pinggang, ini sangat tidak sesuai dengan nilai ketundukan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala yang ada di depan kita. Kita sedang menghadap Allah Subhanahu wa Ta'ala Dzat yang Maha Agung tersebut. Gerakan seperti ini sangat tidak selaras dengan nilai ketundukan, sehingga hal tersebut diharamkan. Kemudian, gerakan seperti menderungnya onta; ini juga tidak sesuai dengan ketundukan. Maka dilarang hal tersebut. 

Intinya semua gerakan yang tidak sesuai dengan nilai ketundukan dilarang di dalam shalat. Maka ketika kita di dalam shalat, kita lakukan dengan sangat baik, dengan sangat tunduk, kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Kita juga tidak boleh misalnya, melihat langit di dalam shalat. Karena itu bertentangan dengan ketundukan kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. Kita harus melihat ke bawah, karena ini yang sesuai dengan ketundukan kita kepada Allah Subhanahu wa Ta'ala. 

Demikianlah yang bisa kita kaji pada kesempatan kali ini. Semoga menjadi ilmu yang bermanfaat dan diberkahi oleh Allah Jalla wa 'Alaa. 

InsyaaAllah kita akan lanjutkan pada kesempatan yang akan datang. 

والسلام عليكم ورحمة الله وبركاته 

══════ ∴ |GiS| ∴ ══════  


Postingan populer dari blog ini

Al Fatihah 1

BIMBINGAN SINGKAT AMALAN HAJI

BEKAL ISLAM